Blue Velvet (1986)

  

"You stay alive, baby. Do it for Van Gogh," Frank Booth

RottenTomatoes: 92% (critics)
Imdb: 7.8/10
NikenBicaraFilm: 4,5 / 5

Rated: R
Genre: Mystery & Suspense, Drama

Directed by David Lynch ; Produced by Fred Caruso ; Written by David Lynch ; Starring Kyle MacLachlan, Isabella Rossellini, Dennis Hopper, Laura Dern, Hope Lange, George Dickerson, Dean Stockwell ; Music by Angelo Badalamenti ; Cinematography Frederick Elmes ; Edited by Duwayne Dunham ; Production company De Laurentiis Entertainment Group ; Distributed by De Laurentiis Entertainment Group (US), Paramount Pictures (CAN), Release date(s) September 12, 1986 (TIFF), September 19, 1986 (United States) ; Running time 120 minutes ; Country United States ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis:
Jeffrey Beaumont (Kyle McLachlan) menemukan sepotong pendengaran di sebuah padang rumput. Dibantu oleh seorang putri polisi Sandy Williams (Laura Dern), penemuannya akan sepotong pendengaran ini kemudian mengenalkan Jeffrey pada Dorothy Vallens (Isabella Rosselini), seorang penyanyi kafetaria yang anak & suaminya diculik oleh Frank Booth (Dennis Hopper).

Review / Resensi :
Sejauh ini saya sendiri gres menonton satu film karya David Lynch, sutradara yang terkenal berkat gaya surealisnya, yakni The Elephant Man (1980). Jika membandingkan The Elephant Man dengan Blue Velvet, The Elephant Man jauh lebih ringan, humanis dan normal, walaupun nuansa hitam-putihnya terang tidak terlalu modern untuk saya yang terbiasa menonton film berwarna. (*Baca review The Elephant Man disini). Blue Velvet terang lebih absurd, penuh teka-teki dan filosofis. Menurut para kritikus, Blue Velvet yaitu salah satu karya terbaik dari seorang creative-master David Lynch, selain Eraserhead (1977) dan Mulholland Drive (2001). Berkat Blue Velvet, Lynch memperoleh nominasi Oscar keduanya sesudah The Elephant Man. (FYI, David Lynch telah 6 kali meraih nominasi Oscar tanpa pernah memenangkannya)

Sebelumnya ada sedikit dongeng tidak penting wacana bagaimana saya menonton Blue Velvet. Saya menontonnya di Thrill, channel khusus film horror yang ada di TV kabel berbayar. Bisa dibilang menonton Blue Velvet di Thrill yaitu kesalahan fatal alasannya Thrill dengan kasarnya memotong seluruh adegan penting di film ini. Film yang bahwasanya sudah tidak terang ini justru makin tidak terang dan meloncat-loncat alasannya editingnya yang seenaknya sendiri. Ya, saya tidak menyalahkan Thrill seluruhnya alasannya bahan seksual dan kekerasan di film ini memang harus disensor bagi penonton umum, tapi editing itu justru menghilangkan esensi penting dari film ini sendiri. So then I must watch the censored-scene on youtube.

Blue Velvet yaitu wacana satir dan ironi, menjabarkan dunia normal yang kelihatannya baik-baik saja di sebuah kota kecil yang kondusif dan tentram namun bahwasanya menyimpan kisah misteri yang mengerikan. Ini sesuai dengan quotes yang beberapa kali dikatakan di film: "It's a strange world,". Melalui perjalanan seorang perjaka sok pahlawan berlagak detektif Jeffrey Beumont (Kyle McLachlan) yang hendak memuaskan rasa penasarannya tanggapan penemuannya akan sepotong pendengaran di sebuah padang rumput, Blue Velvet membawa kita pada dunia kelam yang tidak pernah kita duga sebelumnya : kisah sadokis-masokis, oedipus complex, penculikan, kekerasan dan drug abuse.

Blue Velvet yaitu sebuah thriller & neo-noir yang sukses membuatmu mencicipi ketegangan yang sama menyerupai yang dirasakan oleh tokoh Jeffrey, melalui matanya yang mengintip dari celah-celah lemari kala Dorothy (Isabella Rosselini) disiksa oleh Frank (Dennis Hopper). Scene itu begitu disturbing untuk disaksikan, dan sulit untuk tidak merasa dihantui oleh bunyi nafas Frank Booth yang menghisap masker-obatnya yang aneh. Adegan ini yaitu classic scene yang memorable, tanpa backsound musik yang berlebihan dan mengingatkan saya akan ketegangan yang sama kala menonton Eyes Wide Shut (1999)-nya Stanley Kubrick.

Adegan lain yang juga sulit dilupakan yaitu adegan tidak masuk logika dengan lagu In Dreams dari Ray Orbinson sebagai backsoundnya (FYI, Frank Booth menamai lagu ini Candy Colored Clown). Yang pertama yaitu adegan di kawasan Ben, partner kriminal Frank yang menyekap anak Dorothy. Ben bernyanyi lip sync lagu In Dreams, ditemani anak buah Frank yang setengah mabuk menari-nari di atas sofa, dan Frank larut pada kesedihan sebelum kemudian menjelma kemarahan. Adegan kedua yaitu adegan dimana Frank memukuli Jeffrey, dengan lagu yang sama diputar melalui tape mobil, dan seorang wanita menari-nari tidak terang di atas mobil. Lagu In Dreams yaitu lagu indah jikalau didengarkan, namun menggabungkannya dengan adegan yang berkebalikan dari itu semua membuatmu terjebak pada atmosfer yang ganjil.

Sebenarnya Blue Velvet bukanlah sebuah film dengan fuckin awesome twist di cuilan endingnya, kisahnya sendiri bahwasanya berjalan cukup linier. Ini memang menciptakan film ini sekilas terlihat begitu sederhana alasannya kau tidak perlu bertanya-tanya who is the really bad guy in the movie. Namun di tangan David Lynch, Blue Velvet yaitu sebuah mahakarya yang penuh dengan elemen-elemen filosofis yang menarik. Sebuah film dapat menjadi cult movies jika sesudah menontonnya kau masih ingin membicarakannya dan menyingkap gagasan-gagasan gila yang ingin diungkapkan sang sutradara dan penulis naskah, dan itulah yang terjadi pada Blue Velvet. (Contoh lain cult movie berdasarkan saya: American Psycho. Baca reviewnya disini).

Kesintingan menjadi milik Dennis Hopper yang berperan sebagai Frank Booth, dan dengan meyakinkannya berhasil membuatmu merasa miris melihat kekejian tidak berperikemanusiaan yang dilakukan Frank kepada Dorothy. Frank seorang Oedipus Complex sekaligus sadokis, dan hampir seluruh kalimat yang diucapkannya tidak pernah tidak disisipi kata-kata kasar. Namun menariknya yang ambigu yaitu huruf protagonis di film ini, yaitu huruf Jeffrey Beaumont dan Dorothy Vallens yang somehow dapat terlibat pada relasi sensual sadokis-masokis yang absurd. Kegamangan ini sepertinya yaitu area abu-abu yang ingin diperlihatkan Lynch pada huruf protagonis yang rupanya juga mempunyai naluri hewani/humanis yang kelam pula. 

Ada filsafat menarik lain yang saya baca mengenai relasi Blue Velvet dengan voyeurisme atau "kenikmatan mengintip". Saya membacanya melalui blog yang saya temukan kala googling (klik disini). Intinya dongeng Blue Velvet berkembang tanggapan rasa kengintahuan yang besar dari Jeffrey Beaumont, yang bahwasanya keingin tahuannya itu tidak menawarkan pengaruh apapun pada hidupnya, selain ia sekedar ingin tau saja. Rasa ingin tau inilah yang risikonya membuatnya bersembunyi di lemari Dorothy, mengintip bagaimana Dorothy melaksanakan relasi seksual yang abnormal dengan Frank dimana adegan ini begitu menegangkan namun juga membuatmu sama penasarannya. Sehingga tidak peduli bagaimana Frank kerap berteriak "Don't you fucking look at me!!", kau tak jauh berbeda dari Jeffrey yang masih menonton dengan perasaan campur aduk (ngeri sekaligus penasaran).

Aktivitas mengintip, terdengar sederhana dan (yeah) pervert, tapi rupanya menyimpan filosofi yang dalam dan menarik. Mengutip blog yang saya baca tersebut, Jean Paul Sartre pernah mengungkapkan filsafat yang kurang lebih mengacu pada natural settings tersebut. Katanya, jikalau seseorang berada di dalam kamar sendirian, maka ia bebas melaksanakan apapun yang ia mau. Ia merdeka. Namun ketika orang tersebut mengetahui dirinya diintip dari lubang kunci, maka seketika ia berubah. Ia menjelma seseorang yang ”dimaui” oleh orang yang mengintip. Interaksi yang terjadi pada 2 orang yaitu relasi dua arah yang saling mengobjekkan. Namun pada acara mengintip, relasi yang terjadi yaitu relasi searah, dimana si tukang-intip tidak perlu bertindak menjadi objek menyerupai yang dimaui oleh yang diintip. Dan inilah fenomena sosial yang kerapkali melanda kita, atau ketika ini lebih sering disebut "kepo". Siapa yang ketika ini tidak suka "ngepoin" halaman sosial media orang lain, dan belakang layar menghakimi dalam hati? Acara warta begitu populer, alasannya kita bebas mengetahui privasi orang lain tanpa perlu khawatir mengenai privasi kita sendiri diketahui orang lain. Dan siapa yang menyangka filosofi mendalam ini ada pada acara rendahan macam mengintip? Mengenai mengapa pendengaran yang ditemukan oleh Jeffrey (bukan mata, atau cuilan badan lainnya), berdasarkan saya yaitu sebuah simbol keterkaitan dengan acara yang tidak jauh berbeda dengan mengintip, yaitu menguping.

Pada cuilan akhir, dimana Jeffrey sedang bersantai di halaman belakang rumahnya, seakan-akan menyiratkan bahwa segala insiden angker yang terjadi sebelumnya hanyalah mimpi-mimpi belaka, bagi saya merupakan pertentangan mengenai kehidupan sesungguhnya. Yang dapat saya tangkap: mengetahui dan mengalami peristiwa-kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupanmu sehari-hari seakan-akan kolam mimpi buruk, namun bukan berarti hal itu tidak faktual dan tidak eksis. Ironi dan pertentangan itu juga disampaikan Lynch pada cuilan simpulan film dimana Lynch menampilkan cuplikan-cuplikan pemandangan pinggir kota yang kondusif dan tentram - yang merupakan perulangan dari cuilan awal film - seakan-akan hendak memberikan bahwa kehidupan yang jelek juga dapat ada pada kehidupan pinggir kota yang damai.

Overview:
Blue Velvet is a masterpiece from genius-director like David Lynch. It's an awesome classic & cult movie, baik ditinjau dari Blue Velvet sebagai sebuah film bergenre noir/thriller, maupun memahami Blue Velvet sebagai sebuah karya seni yang unik dan filosofis walaupun plotnya memang berjalan begitu sederhana dan cenderung membosankan. Didukung oleh penampilan Dennis Hopper yang sooo disturbing, Blue Velvet yaitu salah satu mahakarya perfilman yang wajib kau tonton.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Blue Velvet (1986)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel