Green Room (2016) (4/5)


Reece: You can't keep us here, you gotta let us go. 
Gabe: We're not keeping you here, you're just staying.


RottenTomatoes: 91% | IMDb: 7,2/10 | Metascore: 7,9/10 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R
Genre: Mystery & Suspense, Horror

Directed by Jeremy Saulnier ; Produced by Neil Kopp, Victor Moyers, Anish Savjani ; Written by Jeremy Saulnier ; Starring Anton Yelchin, Imogen Poots, Alia Shawkat, Joe Cole, Callum Turner, Patrick Stewart ; Music by Brooke Blair, Will Blair ; Cinematography Sean Porter ; Edited by Julia Bloch ; Production company Broad Green Pictures, Film Science ; Distributed by A24 ; Release dates May 17, 2015 (Cannes), April 15, 2016 (United States) ; Running time 95 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $5 million

Story / Cerita / Resensi: 
Sebuah grup band punk Ain't Rights yang terdiri dari Pat (Anton Yelchin), Sam (Alicia Shawkat), Reece (Joe Cole), dan Tiger (Callum Turner) terpaksa mendapatkan usulan manggung di sebuah klub yang dimiliki oleh neo-Nazi skinhead di Oregon. Tanpa disangka terjadi sebuah bencana yang melibatkan mereka, keempatnya pun sekarang harus bertahan hidup dari serangan skinhead yang ingin menghabisi mereka. 

Review / Resensi :
Saya termasuk yang sangat menyukai apa yang sudah dilakukan Jeremy Saulnier lewat film Blue Ruin, sebuah film indie yang terbilang cukup sukses menarik perhatian publik dan terutama kritikus pada tahun 2013. Saya sudah pernah ngereview filmnya di blog ini, bisa dibaca di sini.  Blue Ruin sepintas yaitu sebuah film dengan tema vengeance yang sederhana, perihal seorang laki-laki berjulukan Malcolm, laki-laki awam yang kelihatannya menyerupai laki-laki baik-baik dan tidak berbahaya, yang berusaha membalaskan dendam kematian orang tuanya. Apa yang jago dari film Blue Ruin yaitu bagaimana Jeremy Saulnier mengarahkan Blue Ruin menjadi sebuah film yang intens, mencekam, dan kental dengan nuansa realismenya. Kita menyerupai diajak untuk menonton sebuah pertunjukan kriminal yang realistis, bukan sebuah film agresi kriminal yang dramatis dan palsu. Hal itulah yang kemudian dilakukan Jeremy Saulnier lagi lewat film thriller terbarunya Green Room yang dirilis tahun ini. Masih bernuansa indie dengan budget terbilang kecil, Green Room sama menariknya dengan apa yang pernah dilakukan Jeremy Saulnier lewat Blue Ruin. Namun sayangnya, saya tidak bisa menyampaikan bahwa Green Room lebih bagus daripada Blue Ruin.

Sebenarnya, inti cerita Green Room tidak jauh berbeda dari film-film thriller dan slasher yang sudah sangat familiar: sekumpulan anak muda yang diserang oleh laki-laki (atau pria-pria) berbahaya. Sebuah grup band punk berjulukan Ain't Rights yang terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan sedang melaksanakan pertunjukan gig di sebuah club punk yang ternyata dimiliki oleh skinhead neo-nazi sayap kanan. Akibat sebuah insiden, keempatnya terkurung dan harus bertahan hidup di Green Room (-fyi, Green Room yaitu ruangan backstage kawasan artis siap-siap sebelum perform) dari serangan para skinhead yang ingin menghabisi mereka. Jadi, pada dasarnya sih sesungguhnya cuma perihal anak muda yang harus bertahan hidup dari serangan laki-laki berbahaya. Premis ini "dipercantik" dengan sedikit aksesoris berupa grup band punk versus neo-nazi skinhead, walaupun sesungguhnya aksesoris tersebut tidak punya dampak signifikan terhadap keseluruhan inti film. Biarpun dongeng utamanya terbilang familiar, di tangan Jeremy Saulnier, kisah itu bisa dikembangkan dan dimaksimalkan dengan sangat baik. Green Room yaitu menu mencekam yang stylish.

Melalui Green Room, Jeremy Saulnier kembali pertanda bahwa dirinya yaitu sutradara yang patut diperhatikan, at least dalam genre suspense dan thriller. Semoga saja kalaupun nantinya Jeremy Saulnier menjadi sutradara di studio besar, ia tidak akan menanggalkan idealisme dan melupakan signature style-nya yang sangat "indie-indie sedap" ini. Jika dibandingkan dengan Blue Ruin (2013), Blue Ruin menawarkan dongeng yang lebih kompleks, dengan atmosfer yang terasa lebih emosional dan depresif (apalagi jikalau uda nonton akhirnya). Sementara itu, Green Room terasa lebih "fun" dan lebih "ringan". Film yang naskahnya juga dikerjakan sendiri oleh Jeremy Saulnier (ternyata si Saulnier ini pernah jadi bab dari punk-scene tahun 90-an) ini sangat solid dalam segi dongeng dan eksekusinya, termasuk membawa kita kedalam level ketegangan yang terasa realis dan sangat intens. Adegan berdarahnya memang tidak cukup banyak dan tidak akan terlalu memuaskan bagi pecinta gore yang selalu haus darah, namun setiap sanksi berdarahnya disampaikan dengan brilian dan efektif. Because it looks so natural and unpredictable, and it makes you really uncomfortable. 

Yang menciptakan Green Room juga makin menarik yaitu tokoh-tokoh protagonisnya (syukurlah) tidak akan membuatmu frustasi. Mereka bukan sekumpulan orang terbelakang yang keburu panik dan melaksanakan tindakan konyol sebelum dijemput ajalnya, menciptakan saya agak teringat dengan film You're Next (2011) yang tokoh protagonis ceweknya badass banget. Mereka mungkin terang kalah amunisi dan kalah taktik dibandingkan para skinhead yang udah banyak latihan agresi kriminal, namun seenggaknya mereka punya otak untuk perundingan dan melaksanakan aksi-aksi perlawanan yang tidak diduga. Kalaupun ada kelemahan, mungkin film ini kelewat sekedar film thriller yang ringan, sehingga karakterisasinya tidak terlalu ditonjolkan. Akibatnya kita dibentuk tidak terlalu peduli dengan setiap huruf (baik yang hidup maupun yang mati, yang baik maupun yang jahat), dan menciptakan kesan emosionalnya jadi kurang dapet pula. Satu-satunya agresi yang menonjol yaitu Patrick Stewart sebagai Darcy, sebagai bos skinhead yang menampilkan aura jahatnya dengan sangat dingin, manipulatif, dan tenang.

...
PS:
Anw, saya kurang familiar dengan skinhead yang menjadi tokoh antagonis di film ini. Pengetahuan saya soal neo-Nazi skinhead cuma menurut film American History X (1998) yang dibintangi oleh Edward Norton. Sejauh yang saya tahu, awalnya subkultur skinhead ini muncul tahun 60-an sebagai wujud lisan kelas pekerja di London, style mereka berkepala plontos, pake boot Doc Marten, celana jeans dan kaos bertuliskan keren. Sementara itu, skinhead neo-Nazi yang menjadi tokoh antagonis di film ini yaitu sub-kultur yang punya ideologi politik sayap kanan (konservatif), atau dalam hal ini menegakkan supremasi kulit putih. So basically, mereka anarkis idealis yang rasis.

Overview:
Mungkin tidak lebih baik dan tidak lebih memorable dibandingkan Blue Ruin, tapi Green Room cukup pertanda bahwa Jeremy Saulnier adalah sutradara yang patut diperhatikan. Terlepas dari ceritanya yang agak "standar", perhiasan punk dan skinhead cukup menjadi daya tarik tersendiri. Sebagai sebuah film thriller yang ringan, Green Room sendiri sangat solid dari awal hingga akhir, bisa bermain maksimal dalam level ketegangan, dan sanksi adegan berdarahnya yang brilian sekaligus efektif. It's not a best movie in 2016, tapi dari genre ini sendiri, Green Room mungkin yaitu salah satu yang terbaik. 


...
My desert-island band?
The Beatles.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Green Room (2016) (4/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel