Suspiria (1977) (4/5)


"Susie, do you know anything about... witches?"
 
RottenTomatoes: 91% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 79/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R | Genre : Horror

Directed by Dario Argento ; Produced by Claudio Argento ; Written by Dario Argento, Daria Nicolodi ; Based on Suspiria de Profundis by Thomas De Quincey ; Starring Jessica Harper, Stefania Casini, Flavio Bucci, Miguel Bosé, Barbara Magnolfi, Susanna Javicoli, Eva Axén, Alida Valli, Joan Bennett ; Narrated by Dario Argento, William Kiehl (English version) ; Music by Goblin, Dario Argento ; Cinematography Luciano Tovoli ; Edited by Franco Fraticelli ; Production company Seda Spettacoli ; Distributed by Produzioni Atlas Consorziate ; Release date 1 February 1977 ; Running time 98 minutes : Country Italy ; Language Italian, Russian, English, German, Latin

Story / Cerita / Sinopsis :
Suzy Bannion (Jessica Harper) tiba di Tanz Dance Academy di Freiburg - Jerman, untuk mencar ilmu balet, tanpa mengetahui bahwa hal-hal asing menantinya di sana.

Review / Resensi: 
Sebagai penikmat film yang moody, sejauh ini saya hanya nonton film yang memang ingin saya tonton aja. Berhubung saya bukan penikmat film-film klasik, maka film-film di bawah tahun 90-an yang sudah saya tonton juga masih sangat sedikit. Jadi, saya nggak akan ngeklaim diri ini sebagai movie expert (atau istilah yang belakangan lagi ngetrend: movie elitist?). Kenapa saya nggak suka nonton film klasik? Karena sejujurnya, buat saya film-film usang itu terasa sangat... awkward. Menurut saya, biasanya film klasik tetap disukai oleh banyak orang alasannya unsur nostalgianya. Tapi kalau penonton awam (apalagi generasi milenial yang lahir di tahun 2000-an) disuruh nonton film klasik, saya nggak yakin mereka akan mengapresiasi dengan baik. Saya aja kalo disuruh nonton film horror lawas bukannya takut malah pengen ketawa. Suspiria -  salah satu film horror-klasik yang sering disebut sebagai salah satu film horror terbaik dari dekade 70-80an - termasuk salah satu film usang yang buat saya terasa awkward kalo ditonton jaman sekarang. Maka ampuni saya bila review saya berikut ini terasa agak asal-asalan dan kurang dapat memberi penghormatan yang layak ....

Suspiria dimulai dari kedatangan Suzy Bannion (Jessica Harper) di bandara dari Amerika Serikat untuk mencar ilmu balet di Tanz Dance Academy, Jerman. Kedatangannya di tengah malam dan diiringi angin puting-beliung hujan itu disambut dengan insiden aneh, seorang wanita berjulukan Pat - yang belakangan diketahui salah satu murid Tanz Dance Academy - lari dengan ketakutan dari perguruan tersebut. Tak usang kemudian Pat ditemukan mati dengan cara mengenaskan. Peristiwa-peristiwa yang lebih anehpun kemudian terjadi di perguruan tersebut, menciptakan Suzy curiga bahwa perguruan tersebut menyimpan suatu misteri yang harus diungkap.

Dario Argento adalah sutradara Italia yang cukup kuat di dunia film horror pada dekade 70-80an, terutama pada subgenre giallo - sebutan untuk film dan literatur thriller - horror dari Italia. Mengutip dari Wikipedia, genre giallo ini punya elemen misteri dan seringnya juga mengandung unsur slasher, fiksi kriminal, thriller dan horror psikologis, sexploitation, dan terkadang supranatural. Dario Argento menyutradarai sebuah trilogi yang disebutnya "The Three Mothers", yang berkisah ihwal penyihir kuno di tiga kota modern yang berbeda. Suspiria yakni film pertama dalam trilogi tersebut, dan sering disebut sebagai salah satu karya terbaik Argento sekaligus paling populer. Anyway, Luca Guadagnino (Call Me By Your Name, 2017) tahun ini ngeremake Suspiria (atau Guadagnino lebih suka menyebutnya sebagai "interpretasi bebas") yang dibintangi oleh Dakota Johnson dan Tilda Swinton, dengan - oh yes - Thom Yorke dari Radiohead sebagai pengisi musiknya. Trailernya gres aja keluar, and omg it's scary af. Nah, kini kau tahu kenapa saya akibatnya mbelani untuk nonton versi ori Suspiria kan? 

Tagline pada poster Suspiria berbunyi menyerupai ini: "The Only Thing More Terrifying Than The Last 12 Minutes Of This Film Are The First 92". Wow, emangnya seseram dan sebagus apa sih Suspiria ini?



Oke, saya akan ngasih opini jujur sehubungan dengan saya yang gres nonton 41 tahun semenjak filmnya pertama kali ditayangkan. Saya sudah bilang kan kalo saya agak sedikit punya dilema dengan nonton film lama? Buat saya yang terbiasa nonton film mondern. saya susah untuk ngelepas konteks bahwa film ini dibentuk tahun '77. Pertama, yang paling mengganggu, tentu aja Suspiria masih sangat terbatas dalam perkara practical dan special effect-nya. Hal ini bikin efek gore yang muncul bukannya nakutin, malah buat saya pengen ketawa (*maafin*). Darah yang muncul, lebih terlihat menyerupai saos tomat ga terang yang sering kita jumpai ketika makan bakso pinggir jalan atau malah kayak selai strawberry. Kedua, editing dan pengambilan gambarnya masih sangat usang dan kasar. Belum lagi teknik yang dipakai masih teknik dubbing yang umum dilakukan kala itu di industri perfilman Italia. Ketiga, saya selalu agak terganggu dengan film usang alasannya akting para pemainnya terasa nggak natural dan dibuat-buat. Termasuk Jessica Harper yang akting pas pusingnya terasa sangat lebay di mata saya. Keempat, saya nonton ini sama mama saya. Beliau selalu banyak cincong tiap nonton film horror, dan ketika nonton Suspiria ini dia jadi komentator yang berisik setiap tokoh utamanya melaksanakan kebodohan. Gimana mood saya nggak makin ancur. (Tapi yang bikin saya heran, film cult-classic macam Suspiria ini dia nyinyirin, tapi di lain sisi dia serius banget kalau nonton Karma di Anteve. Ya Allah ).

Tapi saya dapat memahami betapa seramnya Suspiria pada masa itu. Nggak menyerupai Rosemary's Baby (1968) atau The Exorcist (1973) yang agak bertele-tele dalam ceritanya, Suspiria pribadi menyajikan adegan gore penyiksaan seorang wanita di menit-menit awal. Adegan brutalnya emang agak "wagu" kalo ditonton sekarang, tapi kalo inget film ini dibikin tahun '77, scene gore-nya sudah termasuk eksplisit dan ngeri. Favorit saya tentu aja puas adegan nyemplung ke "kamar berduri" - salah satu scene cerdas dimana Argento menampilkan adegan ini dalam satu menit yang bikin ngilu. Argento juga bakir menyisipkan momen-momen suspense yang menegangkan dan terasa khas Hitchcock, salah satunya ketika kita diajak menjelajahi ruangan demi ruangan Tanz Academy dan bunyi parau misterius nan menyeramkan dari sosok bayangan aneh.

Yang paling Istimewa dari Suspiria tentu saja bahwa Suspiria bukan sekedar film horror, tapi film horror yang artsy. Saya rasa ini hal paling mengesankan dari Suspiria yang membuatnya relevan sampai ketika ini. Saya suka dekorasi dan interior bangunan yang ada, dengan ciri khas retro dan art-deco yang super anggun (dan creepy). Eksterior Tanz Academy dengan cat merahnya terasa gothic, kabarnya terinspirasi pribadi dari Haus de Walfisch di Jerman. Ciri bangunannya mengingatkan saya dengan sebuah hotel di Lawang, Malang yang kabarnya banyak hantunya. Gimana ga serem.


Yang juga sangat impresif dan mengukuhkan Argento sebagai auteuristic director yakni penggunaan cahayanya dengan dominasi warna merah yang terasa bold, dramatis, dan psychedelic. Untuk mencapai palette warna-warna yang kaya ini, Suspiria memakai teknik proses pasca produksi dengan mesin Technicolor (apa itu? Saya juga ga ngerti-ngerti banget haha). Suspiria adalah salah satu film terakhir yang memakai ini. Menonton Suspiria mengingatkan saya dengan visual style film-film Nicolas Winding Refn, dan kabarnya Suspiria memang salah satu film yang menginspirasi doi. Guilermo del Toro juga kabarnya terinspirasi dari Suspiria ketika menggarap Crimson Peak.

Eits, dan jangan lupakan juga soundtrack music tak terlupakan dari grup musik progresif rock Goblin yang berhubungan dengan Dario Argento sendiri. Tidak menyerupai film-film horror sunyi yang meminimalkan penggunaan bunyi dan memanfaatkan bunyi-bunyian bernada tinggi yang angker di ketika yang tepat, Suspiria yakni film horror yang berisik. Hal ini bahkan sudah dimulai dari awal film dimulai, scoring music dari Goblin ft Argento sudah didendangkan dan menjadi penanda ihwal hal-hal jelek yang akan terjadi. Musiknya terdengar aneh, animalistik, dengan racauan parau nggak terang yang beneran menyerupai bunyi setan dari neraka. Sangat eksperimental pada masanya, bikin saya berpikir bahwa dipilihnya Thom Yorke sebagai pengisi musik di versi gres Suspiria yakni pilihan yang sempurna alasannya musiknya memang terdengar menyerupai Radiohead. Bedanya, Goblin ini terdengar lebih berisik, penuh amarah, dan sadis, sementara musik Radiohead lebih terasa depresif yang suram (demikian juga kalo saya menganalisa sekilas dari trailernya). Scoring music dari Goblin ini mungkin terdengar terlalu ramai bagi sebagian orang dan sebagian penempatannya agak kurang pas, tapi Dario Argento masih bakir kok menampilkan adegan-adegan sunyi yang menegangkan.

Overview :
Sebagai penikmat film biasa, tentu buat saya menonton Suspiria yang diproduksi lebih dari empat puluh tahun terasa sedikit wagu dan konyol. Tapi toh hal ini kerap saya alami pada sebagian besar film-film usang yang diproduksi di bawah dekade 90an. But I get it why people call Suspiria is a cult-classic horror movie. Suspiria cukup angker pada masanya, namun aspek artistik-lah yang paling menonjol dan mengakibatkan Suspiria masih relevan sampai ketika ini. Interior dekorasinya super-retro dan cantik, penggunaan lighting yang menawan dan iconic, dan scoring music dari Goblin menciptakan Suspiria makin membekas di ingatan.  

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Suspiria (1977) (4/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel