Blue Is The Warmest Color (2013)


"But I have infinite tenderness for you. I always will. My whole life," - Emma

RottenTomatoes: 91%
Metascore: 88/100
IMDb: 7,9/10
NikenBicaraFilm: 5/5

Rated: NC-17
Genre: Drama

Directed by Abdellatif Kechiche ; Produced by Abdellatif Kechiche, Brahim Chioua, Vincent Maraval ; Screenplay by Abdellatif Kechiche, Ghalia Lacroix ; Based on Blue Is the Warmest Color by Julie Maroh ; Starring Léa Seydoux, Adèle Exarchopoulos ; Cinematography Sofian El Fani ; Edited by Albertine Lastera, Camille Toubkis, Sophie Brunet, Ghalia Lacroix, Jean-Marie Lengelle ; Production company Quat'sous Films, Wild Bunch, France 2 Cinéma, Scope Pictures, Radio Télévision Belge ; Francofone, Vertigo Films ; Distributed by Wild Bunch ; Release dates 23 May 2013 (Cannes), 9 October 2013 (France) ; Running time 179 minutes ; Country France, Belgium, Spain ; Language French ; Budget €4 million ; Box office $19.5 million

Story / Cerita / Sinopsis:
Blue Is The Warmest Color, atau dalam versi Perancisnya diberi judul La Vie d'Adèle – Chapitres 1 & 2 (The Life of Adele, Chapter 1 & 2) berkisah mengenai perjalanan hidup Adele (Adèle Exarchopoulos) dalam misi pencarian jati diri, termasuk mengenai preferensi seksualnya. Ia berusaha menjalin kekerabatan dengan seorang pemuda, namun merasa bahwa ia tidak mendapat apa yang ia harapkan - hingga ia kemudian jatuh cinta dengan seorang gadis 22 tahun yang eksentrik, dengan rambut biru dan mata birunya, Emma (Léa Seydoux).

Review / Resensi:
Sebuah film drama dengan durasi tiga jam seharusnya yakni film yang melelahkan dan membosankan. Belum lagi bagaimana sang sutradara, Abdellatif Kechiche menciptakan Blue Is The Warmest Color sebagai sebuah film yang merekam realita senyata mungkin, termasuk dengan teknik hand-held camera yang dipilihnya sepanjang film. Para aktris dan aktornya tidak memakai make-up, dan kabarnya para aktrisnya hanya disuruh membaca naskah sesedikit mungkin dan melaksanakan improvisasi saat proses perekaman dimulai. Bahkan tidak ada backsound musik di film, kecuali seseorang benar-benar sedang menyalakan musik. Yeah, seharusnya film ini bisa menciptakan saya tidur pulas dalam 10 menit pertama. But somehow, this movie could dragged me into its two main characters, Adele & Emma and their bittersweet love story without made me get bored at all.

Blue Is The Warmest Color, yang menyabet Palme d'Or di Cannes Film pameran tahun 2013, yakni sebuah kisah coming-of-age seorang gadis ABG berjulukan Adele, dan sang sutradara mencoba memberikan dengan cara sejujur dan serealitis mungkin. Setiap segmen kisah berjalan begitu perlahan dengan banyak adegan - adegan yang sekilas terasa tidak penting, namun substansial dalam menciptakan penonton bisa memahami kisah seorang gadis berjulukan Adele, yang tampak menyerupai gadis ABG kebanyakan. Kechice merekam kehidupan Adele dengan sangat jujur, dan inilah poin paling menarik pada film ini yang di luar dugaan menciptakan Blue Is The Warmest Color menjadi film yang begitu indah untuk disaksikan.

Dalam durasi 3 jam, film ini terbagi menjadi 2 bagian. Pada penggalan pertama, kau akan diajak mendalami kehidupan Adele, seorang gadis ABG biasa yang gemar bergosip dengan teman-teman, berguru di kelas, mengejar bus ke sekolah, mencoba berpacaran dengan seorang pemuda, hingga alhasil jatuh cinta pada seorang gadis eksentrik berjulukan Emma. Pada penggalan pertama ini Kechice akan mengenalkanmu pada bagaimana Adele jatuh cinta kepada Emma - yang terasa indah sekaligus menyakitkan, sebab well, ya keduanya berjenis kelamin sama dan itu bukan hal yang gampang bagi Adele. Paruh kedua akan mengajakmu menyelami kehidupan Adele & Emma yang beranjak dewasa, dimana Adele telah menjadi seorang guru dan Emma mencoba untuk berhasil di dunia seni lukis. Bagian kedua ini yakni dimana kau menyadari bahwa keduanya tumbuh menjadi dua langsung yang visinya saling berbenturan, dan masing-masing harus berjuang untuk mengatasinya. Bagian pertama membuatmu jatuh cinta, dan penggalan kedua membuatmu patah hati. Seluruh proses yang dilalui Adele & Emma ini yakni hal gampang untuk dijadikan materi drama, namun Kechice menunjukkan perspektif dongeng yang berbeda: menimbulkan proses dramatis itu tidak sedramatis mungkin. Inilah yang menciptakan film ini tidak jatuh menjadi sebuah film kacangan yang mengambil tema LGBT untuk kepentingan menarik perhatian publik.

Salah satu hal kontroversial yang mewarnai film ini tentu saja yakni muatan seksualnya. Ada adegan seksual yang dilakukan 2 orang gadis dalam durasi kira-kira tujuh menit. Waktu tujuh menit ini berdasarkan saya yakni hal yang berlebihan dan kepanjangan, dan menciptakan saya menyerupai sedang menyaksikan soft-porn movie - namun saya tidak menyampaikan adegan seksual itu tidak penting. Justru di adegan inilah kita bisa menelanjangi hasrat seksual keduanya, dimana keduanya menemukan emosi yang selaras dalam penyatuan diri (dan bukankah cinta gotong royong eufimisme dari hasrat seksual?). Inilah titik puncak yang mempertontonkan dan menelanjangi perasaan keduanya - dan kala Adele menangis sehabis bekerjasama seks, menciptakan kita bisa menyelami masalah terbesar yang dialaminya. Chemistry keduanya, yang diperankan dengan sangat apik oleh Léa Seydoux dan Adèle Exarchopoulos, tidak hanya passionate, tapi juga manis. But yeah I'm wondering, if you replace two girls in this movie with two boys, apakah film ini masih bisa terasa manis? Apakah kita masih merasa nyaman menyaksikan 2 laki-laki bergumul bersama di atas ranjang?

Teknik pengambilan gambar yang dipilih Kechiche mengingatkan saya pada teknik yang biasa digunakan opera sabun atau sinetron Indonesia. Kebanyakan gambar menyorot verbal muka para pemerannya, sehingga totalitas verbal para aktrisnya mutlak menjadi salah satu hal yang esensial. Di sinilah bagaimana kedua aktris keduanya, Adèle Exarchopoulos sebagai Adele, dan Léa Seydoux sebagai Emma membawakan kiprahnya dengan baik. Exarchopoulos bisa menampilkan sedikit keluguan dan kepolosan seorang Adele yang menarik dan simpatik. Tapi tentu saja the true star in this movie buat saya yakni Lea Seydoux yang tampil begitu meyakinkan sebagai lesbian yang berjiwa bebas. Setiap gerak - geriknya, senyum dan sorot matanya, sepertinya bisa menciptakan setiap perempuan normal sejenak bisa khilaf. Chemistry keduanya juga terasa begitu romantis, elok dan memikat. Saya menemukan diri saya tersenyum saat keduanya saling flirting-flirting, lewat keduanya yang saling bertatapan penuh makna (tentu saja tatapan mata keduanya jauh berbeda dengan tatapan mata ala Edward dan Bella) - hingga saya juga bisa merasa ikut hancur saat kekerabatan keduanya harus mengalami ujian.

Jika kau bertanya-tanya mengapa judul film ini yakni Blue Is The Warmest Color, Kechice mencoba menyusupkan elemen biru dalam banyak adegan, mulai dari piring-piring yang berwarna biru, baju Adele yang berwarna biru, adegan dimana Adele berenang di maritim yang berwarna biru, hingga tentu saja biru sebagai warna yang paling hangat ada pada warna biru rambut Emma dan matanya yang berwarna biru. Saya menyerupai bisa terbawa pada perasaan Adele kala melihat Emma, menatap mata biru dan rambutnya yang biru - dan karam pada hangat perasaan jatuh cinta itu. Sweet.

Overview:

Walaupun mengambil tema yang sedikit kontroversi, yaitu kisah lesbian, sesungguhnya film ini tidak lebih dari perjalanan seorang gadis insan berjulukan Adele, yang menemukan cinta  - dan kemudian harus berjuang mempertahankan cintanya. Cara penyampaian Abdellatif Kechiche yang menjadi salah satu nyawa yang menciptakan film ini terasa indah untuk diikuti. Film ini begitu hidup, begitu jujur dan begitu gamblang - dan inilah yang menjadi kekuatannya. Léa Seydoux dan Adèle Exarchopoulos juga berhasil membawakan kiprahnya dengan sangat baik, menghidupkan chemistry kedua tugas utama dengan sangat menawan. Tidak salah bila Blue Is The Warmest Color disebut-sebut sebagai salah satu film terbaik tahun 2013.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Blue Is The Warmest Color (2013)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel