The Theory Of Everything (2014)



"However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at. While there's life, there is hope,"

RottenTomatoes: 79%
IMDb: 7,8/10
Metacritic: 72/100
NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: PG-13
Genre: Drama

Directed by James Marsh ; Produced by Tim Bevan, Eric Fellner, Lisa Bruce, Anthony McCarten ; Screenplay by Anthony McCarten ; Based on Travelling to Infinity: My Life with Stephen by Jane Wilde Hawking ; Starring Eddie Redmayne, Felicity Jones ; Music by Jóhann Jóhannsson ; Cinematography Benoît Delhomme ; Edited by Jinx Godfrey ; Production company Working Title Films, StudioCanal ; Distributed by Focus Features (US), Universal Pictures (UK) ; Release dates 7 September 2014 (TIFF), 7 November 2014 (US), 1 January 2015 (United Kingdom) ; Running time 123 minutes ; Country United Kingdom ; Language English ; Budget $15 million

Story / Cerita / Sinopsis :
The Theory of Everything diambil dari buku karangan Jane Hawking mengenai kisah hidupnya dengan seorang ilmuwan jenius, Stephen Hawking. Bercerita mengenai romansa sang ilmuwan dengan istrinya, karirnya sebagai seorang ilmuwan, serta penyakit ALS yang dideritanya.

Review / Resensi :
Stephen Hawking boleh dikatakan yakni salah satu fisikawan paling populer ketika ini. Buku karangannya mengenai waktu, A History Brief of Time yakni salah satu buku non-fiksi yang terjual lebih dari 10 juta kopi di dunia. Buku yang entahlah, mungkin otak saya terlalu dungu untuk bisa memahami isinya, sehingga saya mengalah di dua pecahan pertama dan tidak pernah melanjutkannya hingga sekarang. Tidak hanya dikenal sebagai seorang ilmuwan, namun sosok Stephen Hawking yakni citra inspirasional mengenai seorang tokoh yang ditengah keterbatasannya sebagai seorang penderita ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), semacam gangguan saraf motorik pada badan yang menimbulkan penderitanya lumpuh dan kehilangan kemampuan motorik ibarat berbicara, berjalan, bergerak dan menelan - bisa tetap produktif dan berkreasi. Betapa keterbatasan dirinya tidak bisa mengaburkan semangat dan pemikiran-pemikirannya yang revolusioner sebagai seorang ilmuwan. 

Disutradarai oleh James Marsh, The Theory of Everything bagaikan sebuah simfoni manis mengenai kisah cinta Stephen dan Jane Hawking. Dimulai dari pertemuan yang terasa romantis antara keduanya, yang berlanjut bagaimana keduanya kemudian menikah dan bagaimana usaha baik Stephen dan Jane dalam menghadapi penyakit yang diderita Stephen. The Theory of Everything memang lebih fokus mengenai kisah cinta antara Stephen dan Jane (film ini sendiri merupakan pembiasaan dari goresan pena Jane mengenai kehidupannya bersama Stephen), sehingga kau tidak perlu cemas bahwa film ini akan bercerita perihal teori fisika ibarat hakikat waktu, teori relativitas, mekanika kuantum dan lain sebagainya yang mungkin akan membuatmu mengerutkan dahi ibarat yang mungkin kau rasakan sehabis menonton Interstellar (2014). Abaikan saja apa yang dikatakan Stephen Hawking kepada kolega dan profesornya, dan kau bisa dengan lebih gampang menikmati film ini sebagai sebuah sajian film romantis yang cukup sederhana.

Berbekal sinematografi yang memberikanmu gambar-gambar indah, desain kostum yang cantik, serta desain set produksi yang megah dan mungkin mengingatkanmu akan Hogwarts, The Theory of Everything yakni sebuah kisah drama indah yang dengan gampang akan disukai oleh banyak perempuan di dunia. Stephen Hawking muda yang masih sehat mungkin terasa awkward, tapi senyum dan caranya berbicara boleh jadi akan dengan gampang membuatmu jatuh cinta kepada ilmuwan itu, dan menciptakan profesi ilmuwan terasa lebih keren daripada di kehidupan nyata. Kisahnya berjalan dalam ritme yang gampang diikuti, tanpa terlalu terjebak pada momen-momen yang terlalu mengharu biru ala dorama. 

The Theory of Everything menjadi sangat luar biasa sebab didukung oleh performa yang menarik antara kedua pemeran utamanya. Penampilan Eddie Redmayne begitu luar biasa. Ia bisa menghidupkan tokoh Stephen Hawking dengan baik, tidak hanya bagaimana ia memerankan penderita ALS dengan meyakinkan, namun pesonanya juga cukup charming sebagai sosok Hawking yang likeable dan mempunyai selera humor yang tinggi. Sebuah totalitas yang membuatnya berhak mendapat piala Oscar (namun tentu saja karakternya sebagai seorang ilmuwan penderita ALS akan mengalahkan siapa saja di katagori yang sama). Felicity Jones, dengan auranya yang tipikal girl-next-door, juga dengan baik bisa menampilkan huruf seorang istri yang tegar dan memegang teguh rasa cinta dan komitmennya kepada sang suami. 

However....

Sebenarnya agak sulit untuk menyampaikan bahwa The Theory of Everything yakni sebuah biopik yang benar-benar sesuai dengan fakta yang ada. (Anyway, saya menemukan artikel mengenai seberapa akuratnya film ini dengan bukunya di slate.com)  Film ini sendiri bahkan disesuaikan dari bagaimana pandangan (opini) langsung Jane Hawking mengenai kehidupannya, yang kemudian diubah sedikit-sedikit untuk kepentingan komersial. Dan kembali lagi kepada visi utama film ini sendiri, mengenai kisah romantis antara Stephen dan Jane, hasilnya The Theory of Everything banyak mengabaikan hal-hal lain yang lebih realistis. Karakter Stephen dan Jane ibarat sebuah huruf tokoh sang Pangeran dan sang Putri, yang terasa linier dan suci, sehingga kalau kau mencermatinya lebih dalam, akan terasa agak membosankan. Dan siapa yang berani menciptakan film mengenai keburukan seorang penyandang disabilitas? And if you already know about how this movie gonna end (maybe you've read about Stephen Hawking's personal life), perhaps romantic is not quite true term to define their love story). Saya sendiri juga lebih suka jikalau gagasan - gagasan besar yang dimiliki Stephen Hawking, ibarat bagaimana pandangannya terhadap Tuhan lebih dikembangkan lagi. Namun sekali lagi, sepertinya itu tidak sesuai dengan visi film ini sebagai sebuah film romantis

Overview :
The Theory of Everything yakni sebuah romantisme klasik antara salah seorang tokoh paling inspirasional ketika ini, Stephen Hawking dan istrinya Jane Hawking yang disampaikan dalam sebuah film yang begitu indah dan memikat. Kisahnya gampang untuk diikuti, cukup dramatis dalam momen-momen tertentu, namun tidak terlalu mendayu-dayu. Eddie Redmayne dan Felicity Jones memperlihatkan penampilan yang sangat memukau, terutama Redmayne yang dengan baik bisa menghidupkan sosok Stephen Hawking. Akan tetapi harus diakui bahwa The Theory of Everything tidak cukup berani dalam permainan karakternya, sehingga huruf Stephen dan Jane terasa datar dan kurang tergali lebih dalam. Jalinan ceritanya sendiri juga bahwasanya terasa medioker jikalau dibandingkan film-film lainnya yang mendapat nominasi Best Picture di piala Oscar tahun ini. Overrated? I must agree.  

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "The Theory Of Everything (2014)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel