The Hunger Games: Mockingjay Part 2 (2015) (4,5/5)


Tonight, turn your weapons to the Capitol! 
Turn your weapons to Snow!

RottenTomatoes: 71% | IMDb: 7.2/10 | Metascore: 65/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: PG-13
Genre: Adventure, Fantasy

Directed by Francis Lawrence ; Produced by Nina Jacobson, Jon Kilik ; Screenplay by Peter Craig, Danny Strong ; Based on Mockingjay by Suzanne Collins ; Starring Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Julianne Moore, Philip Seymour Hoffman, Jeffrey Wright, Sam Claflin, Jena Malone, Stanley Tucci, Donald Sutherland ; Music by James Newton Howard ; Cinematography Jo Willems ; Edited by Alan Edward Bell, Mark Yoshikawa ; Production company Color Force ; Distributed by Lionsgate ; Release dates November 20, 2015 (United States) ; Running time 137 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $160 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Bagian kedua sekaligus simpulan dari seri final The Hunger Games ini melanjutkan kisah bagaimana Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) berusaha menjatuhkan Presiden Snow.

Review / Resensi :
Banyak yang kecewa ketika franchise The Hunger Games ikut-ikutan membagi dua potongan simpulan trilogi ini. Uang, itu terang alasan utamanya - tapi bagi para fans setia sepertinya itu bukan masalah. Termasuk saya yang berseru I DON'T CARE ketika suara-suara sumbang mengiringi berakhirnya petualangan Katniss di trilogi Hunger Games ini. Walaupun yeah, harus diakui Mockingjay Part 1 sebenarnya terasa membosankan dan berbelit-belit, demikian juga terjadi dengan Part-2-nya ini. Namun justru dibaginya dua potongan simpulan ini memperlihatkan ruang lebih bagi penonton awam yang belum pernah membaca novelnya (including me, saya cuma baca ringkasan novelnya aja di internet), untuk lebih mendalami situasi lebih luas ihwal apa yang sesungguhnya terjadi di Panem. Karena yeah, sebagus-bagusnya film, durasi maksimal 2 setengah jam tidak akan bisa merangkum semua yang tertuang dalam novelnya.

Melanjutkan apa yang terjadi di Mockingjay Part 1, dimana Peeta Mellark (Josh Hutcherson) otaknya dibajak sampai setengah gila, dan hal itu menciptakan Peeta yang sebelumnya menyayangi Katniss (Jennifer Lawrence) justru ingin mencelakakanya (remember what Snow said in Part 1? "Miss Everdeen, it is the things we love most that destroy us," - Ah, Snow ini jahat tapi banyak benernya). Dipenuhi dendam dan amarah menyala-nyala, Katniss kemudian berniat ingin ikut bertempur di garis depan, namun hal itu tidak disetujui oleh Presiden Coin (Julianne Moore) yang merupakan pemimpin pemberontakan. Membangkang, Katniss justru menyusup ke Skuadron 451 bersama sobat baiknya yang juga mencintainya sampai menciptakan situasi makin rumit: Gale (Liam Hemsworth). Katniss dan kawan-kawannya kemudian harus berjuang menyusup ke Capitol yang ternyata sudah dipersiapkan ranjau-ranjau jahat yang ada di permainan Hunger Games. Ladies and Gentleman, welcome to the 76th Hunger Games!

Okay, saya paham ketika banyak yang merasa bahwa Mockingjay Part 2 ini terasa garing. Dibandingkan seri-seri sebelumnya yang melibatkan pertempuran ala Battle Royale, maka kita berharap bahwa di laga pamungkas ini harusnya mencapai titik puncak yang dipenuhi ledakan-ledakan mewah atau adegan-adegan agresi yang bombastis. But then it didn't, jadi masuk akal kalo banyak yang keluar bioskop sambil bersungut-sungut. Ada beberapa adegan yang masih terasa menghibur, sebut saja ketika ada banjir oli, ledakan meriam, dan scene di gorong-gorong yang bikin saya tegang - sampai kemunculan mutan yang creepy, namun adegan-adegan itu terasa useless karena intensitas ceritanya sesudah itu cenderung menurun sampai seperti berakhir anti klimaks. Belum lagi simpulan film Mockingjay yang terasa lebih ke arah drama dibandingkan action. Bandingkan dengan seri sebelumnya, Catching Fire yang berakhir dengan penuh ketegangan tingkat tinggi, masuk akal jikalau seri kedua THG dianggap sebagai seri terbaik franchise ini.

Tapi apa yang dilakukan Francis Lawrence sebagai sutradara bahwasanya hanyalah mencoba setia dengan novel aslinya. Dan memang, novel aslinya tidak menyajikan situasi peperangan yang full action. Suzanne Collins, sang penulis novel aslinya, hanya menyajikan situasi peperangan melalui satu sudut pandang, yaitu melalui sang tokoh utama: Katniss. Dan Katniss bukanlah pemimpin perang. Dia hanyalah Mockingjay, simbol propaganda bagi para pemberontak yang memang tujuannya hanya sekedar maskot untuk memperlihatkan semangat bagi para pemberontak. Sebuah simbol harapan. Dan bagi saya, novel Mockingjay sendiri memang hanya ingin mengambil sudut pandang seorang ABG yang awalnya niatnya cuma ingin melindungi keluarganya, tapi kemudian malah menjadi korban yang terjebak pada permainan politik dan taktik perang yang kejam. Katniss, Peeta, Gale, dan tokoh-tokoh lainnya hanyalah 'pion' dari taktik para penguasa. Secara keseluruhan, Mockingjay memang bukanlah simpulan yang menyenangkan banyak orang - ini hanyalah metafora dalam bentuk dystopian future ihwal situasi perang dan politik yang keji, brutal, pahit dan menyedihkan. Bukan sebuah film mainstream ihwal glory of war. Hmm.. Sounds depressing? That's what this movie talks about! *Perlu diinget juga kalo novel ini ditulis oleh seorang perempuan.

Berada di ranah teen adult books, maka The Hunger Games harus punya love story sebagai bumbu menarik perhatian penonton. Dihadirkanlah cinta segitiga antara Katniss - Peeta - Gale. Yeah, I know I sounds cheesy, but Goood I love their love story! (Sebenarnya saya cuma peduli dengan Peeta sih, soal Gale mah kagak). Romantisme yang ada di THG memang tidak mendayu-dayu, alasannya ialah memang ini poin yang ingin dihadirkan sang pengarang - bahwa ini memang bukan novel cinta omong kosong ala Twilight. Romantisme yang setengah-setengah ini, alasannya ialah Katniss sedang berada di situasi PERANG, sehingga otaknya nggak sempat terlalu jauh mikir pacar-pacaran, menciptakan hubungan cinta segitiga itu terasa rancu dan tidak jelas. Tapi melalui Mockingjay ini hubungan ketiganya semakin terang terlihat, walaupun keputusan Katniss menentukan siapa itu gres benar-benar terlihat di potongan akhir. (*spoiler alert* Please forgive my fangirling side, but I can't help myself not to dragged down into their love story. I mean Peeta is really sweet! Dan pada potongan final ketika risikonya Katniss menyadari bahwa yang ia butuh dan inginkan ialah Peeta sungguh-sungguh bikin saya emosional. Cinta mereka bagi saya ialah sebuah babak gres dari sebuah masa kemudian yang kelam. Sebuah optimisme. Bahwa Katniss yang stress berat tanggapan Hunger Games dan perang, beliau berhak untuk bahagia. Dan saya senang bahwa beliau menemukan kedamaian itu bersama Peeta.... Ah so sweet, right? *seriously I need romance in my fcking real life!*).

But then again, saya tidak bisa memungkiri bahwa ekspektasi saya cukup tinggi pada seri pemungkas ini. Saya memang sedikit mengharapkan adegan-adegan action yang (harusnya) lebih spektakuler daripada seri sebelumnya, tapi kalau melihat novel aslinya saya tidak bisa menyalahkan ketika Mockingjay cenderung datar - jadi saya memaklumi. Namun jelas, saya membutuhkan suatu momen dramatis yang menandai perpisahan saya dengan simpulan seri ini - ibarat bagaimana saya dibentuk nangis ketika adegan Snape di seri terakhir Harry Potter, dan sayangnya THG kurang bisa memperlihatkan momen dramatis itu. Bahkan potongan simpulan film ini (yang saya tunggu-tunggu pol) ternyata tidak berakhir se-so-sweet yang saya harapkan. Ah. Penonton kecewa.

Dari divisi akting, harus diakui Jennifer Lawrence bermain cemerlang. Bagi saya, Jennifer Lawrence bisa memerankan Katniss dengan baik sebagai simbol feminis gres yang tangguh. Kehadiran wanita sebagai tokoh sentral dalam keseluruhan cerita, dan beliau digambarkan sebagai huruf yang berpengaruh (tapi aslinya ringkih juga) benar-benar menciptakan huruf Bella Swan kolam pecundang (I'm sorry, I hate Twilight!). Cast lain bermain cukup baik - Liam Hemsworth, Phillip Seymour Hoffman (ini film terakhirnya), Woody Harrelson, dan Julianne Moore. Kredit lebih saya tujukan kepada Donald Sutherland yang evil dan licik banget sebagai Presiden Snow. And yes absolutely saya juga harus memuji akting Josh Hutcherson yang berhasil total dalam kiprahnya sebagai Peeta, alasannya ialah karakternya di sini memang complicated

Overview :
Not a really epic final, tapi Mockingjay Part 2 memang hanya mencoba untuk setia dengan novel aslinya. Walaupun agak kelamaan di potongan depan, dan kurang banyak momen dramatis yang sampe bisa bikin saya berkata "this is the final!", tapi overall, secara eksklusif (dan sarat unsur subyektif) saya menyukai Mockingjay Part 2 ini. Francis Lawrence masih bisa mengantarkan kita kepada usaha Katniss yang berat di tengah segala taktik politik dan perang yang harus dihadapinya. Mostly I love this movie because the romantic scene - that isn't really romantic, but still it is sweet enough for me (Team Peeta always).

You love me, real or not real? 
Fcking real, Peeta! 


......
(Please, I need help)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "The Hunger Games: Mockingjay Part 2 (2015) (4,5/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel