Kenapa Violence Movie Menghibur?


Kebetulan, selain blog pribadi nikenbicarafilm ini, saya juga ikut proyek blog rame-rame dengan beberapa teman perempuan. Nama blognya: Tulisanperempuan (update: kini sudah ga aktif lagi). Hanya sekedar proyek mini berhubung kita sama-sama suka nulis dan mencurahkan fatwa (bukan perasaan!). Kebetulan artikel berikut ini pernah saya tuliskan di blog tersebut, jadi sekalian promo blog gres dan kebetulan agak nyambung pula dengan tema film di blog ini, saya tuliskan ulang di sini:

Kenapa Violence Movie Menghibur?

Ada pertanyaan yang menggelitik saya selepas menonton Deadpool - sebuah film superhero dengan rating R alasannya adegan brutal dan humor dewasanya: Apakah kita gotong royong menyukai kekerasan?


Tarantino's Pulp Fiction, salah satu conton violence movie yang "cool"

Jika pertanyaan itu ditanyakan langsung, saya rasa sebagian besar orang akan menentangnya dan mengaku tidak menyukai segala bentuk kekerasan. Memang, segala bentuk kekerasan fisik dilihat dari kacamata HAM tidak patut dibenarkan. Namun kenapa film-film yang menyuguhkan adegan kekerasan, sadisme dan brutal menyerupai franchise film horor SAW sampai film-film Quentin Tarantino, begitu laku di pasar? Tentu saja film-film sadis itu selalu menerima rating R (Restricted) dengan impian hanya ditonton oleh penonton sampaumur yang bertanggung jawab. Tapi tetap saja pertanyaan besarnya: bagaimana sanggup sebuah eksploitasi kekerasan menjadi bentuk hiburan? Apakah kekerasan menghibur?

Paul Bloom dalam bukunya How Pleasure Works (2010) menyebutkan bahwa: what we fear most in life is what we look forward too in the world of fiction. Itulah kenapa film-film horror, sampai film-film bertema apocalyptic macam Armageddon sanggup laku di pasaran. Film, sebagaimana karya fiksi lainnya, juga menyajikan suatu alternative- world, alias dunia alternatif dari realita yang kita punyai. Tidak heran kenapa film-film dengan mimpi - mimpi muluk khas televonela yang romantis selalu menarik minat penonton perempuan. (Karena hidup mereka menyedihkan dan membosankan, sehingga menonton film menyerupai itu memperlihatkan pelarian yang menyenangkan). Saya juga masih sanggup memahami kenapa film dengan konten seksual tinggi selalu menjual, atau mengapa industri pop-music begitu lekat dengan sensualitas, alasannya setiap insan punya naluri seks untuk berkembang biak, dan bisnis sampai marketing berusaha memanfaatkan itu. Namun kalo bicara soal kekerasan, bagaimana sanggup film dengan adegan sadis nan brutal (khas film-film action, gore dan horror) menjadi sebuah hiburan? Membunuh di kehidupan konkret yaitu perbuatan biadab - namun seorang jagoan di film sanggup membunuh banyak orang dan kita bersikap permisif? Juga entah kenapa mafia-mafia berdarah cuek yang psychopath bisa menjadi cool character?

Sadar atau tidak - setiap insan mempunyai dorongan kekerasan. Sedikit naluri kebinatangan. Kalo melihat teori evolusi dan neurosains, dorongan kekerasan ini ada di dalam otak kita bukan tanpa alasan. Mengutip dari livescience.com, humans seem to crave violence just like they do sex, food or drugs. Evolutionary psychologists menyampaikan bahwa agresivitas yaitu salah satu bentuk naluri bertahan hidup, hal itu dibutuhkan untuk menerima dan menjaga makanan, teritori, sampai pasangan (atau jikalau kau perempuan, melindungi keturunanmu). Pada masa kuno, nenek moyang kita melaksanakan kekerasan alasannya hal itu diharapkan dalam menghadapi dunia yang berbahaya. Contoh: menciptakan kita tega berburu, dan makan daging binatang (kalo gag punya dorongan ini, siapa yang tega membunuh binatang yang lucu itu untuk dimakan?), atau kalau kepepet kita punya cukup "ketegaan" untuk membela diri. Sifat garang ini, juga berdasarkan penelitian rupanya mempunyai koneksi dengan hormon dopamin - yang bertanggung jawab terhadap rasa happy. 


Gajah lagi berantem, kebayang nggak sih ada pas berantem ada di situ?

Nilai moral, etika, agama, budaya, yaitu instrumen sosial yang menciptakan kita sanggup mengendalikan itu semua sehingga secara pikiran jernih sanggup menyampaikan kekerasan yaitu hal yang buruk. Modernitas dan janji kita mengenai Hak Asasi Manusia juga perlahan telah mengikis nafsu kita terhadap kekerasan. Selain itu insan juga mempunyai dorongan tenggang rasa yang menciptakan kita sanggup bersimpati terhadap insan dan makhluk hidup lainnya, menjadi semacam kompensasi yang adil dan serasi dari naluri beringas di kepala kita. Namun itu semua juga tidak menghapus sedikit dorongan kekerasan itu, yang tersimpan bawah sadar di dalam otak, yang sanggup menciptakan kita "penasaran" saat melihat kecelakaan, atau menciptakan kita menyukai olahraga tinju (atau Gladiator deh kalo orang jaman dulu), sampai laga dengan orang lain. Nafsu terhadap kekerasan itu ada, suka atau tidak suka, terekam dalam DNA mu.

.....

Saya perempuan, saya menyukai film horror dan action, dan toleransi terhadap adegan sadis di film-film tidak mengecewakan tinggi (malah saya suka ketawa lho kalo pas adegan sadis). Namun apa itu artinya saya menyukai kekerasan di kehidupan nyata? Tidak sama sekali. Saya lihat kucing ketabrak aja nangis. Jadi, biarlah dorongan kekerasan di otak saya ini cukup saya lampiaskan dengan menonton film-film gore, bukan dengan memperlihatkan racun sianida ke kopi orang. (Ini namanya penonton sampaumur bertanggung jawab!).

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kenapa Violence Movie Menghibur?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel