Paper Towns (2015) (3/5)



She loved mysteries so much, that she became one 

RottenTomatoes: 56% | IMDb: 6,4/10 | NikenBicaraFilm: 3/5

Rated: PG-13
Genre: Drama, Romance, Comedy

Directed by Jake Schreier ; Produced by Marty Bowen, Wyck Godfrey ; Screenplay by Scott Neustadter, Michael H. Weber ; Based on Paper Towns by John Green ; Starring Nat Wolff, Cara Delevingne, Halston Sage, Austin Abrams, Justice Smith, Jaz Sinclair, Cara Buono ; Music by Son Lux ; Cinematography David Lanzenberg ; Edited by Jacob Craycroft ; Production company Fox 2000 Pictures, Temple Hill Entertainment, TSG Entertainment ; Distributed by 20th Century Fox ; Release dates July 24, 2015 (North America) ; Running time 109 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $12 million

Story / Cerita / Sinopsis:
Suatu malam, Margo (Cara Delevingne) meminta dukungan sahabat masa kecilnya Quentin (Nat Wolff) untuk mengerjai mantan kekasihnya. Setelah petualangan yang seru, keesokan harinya Margo menghilang dan Quentin mencoba mencari tahu kemana perginya Margo. 

Review / Resensi:
Sejujurnya, waktu booming film The Fault in Our Stars (2014), saya termasuk kaum pesimis yang nyinyir. Biarpun belum nonton, saya sudah keburu skeptis duluan dengan premisnya wacana kisah cinta yang dialami seorang penderita kanker. Oh, another tear-jerker movie *yawn*. Ketika kemudian menonton, dari awal saya pribadi tahu secara teori The Fault in Our Stars memenuhi banyak poin untuk bisa sukses menjadi film mainstream favorit ABG: tokoh dengan nama yang agak-agak puitis (Hazel dan Gus), latar belakang Eropa yang eksotis (harus ada background negara eksotis untuk memuaskan nafsu romantismu), soundtrack yang asyik khas hipster, dan tentu saja bayangan selesai hidup yang menghalangi kisah cinta. Nah, biasanya film begini mood romantis dan sedihnya jadi hilang alasannya yakni udah habis duluan saya banyak omong di depan. Tapi siapa yang mengira dikala ternyata saya tetap saja menangis tersedu-sedu di bab akhirnya? (Bahkan saya udah tahu lho endingnya gimana, dan tetep saja saya nangis!). Well, harus diakui The Fault in Our Stars yakni sebuah film penyesuaian novel yang berhasil. Sebuah film cengeng yang berusaha tidak cengeng, ceritanya dibangun dengan dinamis dan solid, dan tentu saja yang paling menarik yakni chemistry menawan antara Hazel (Shailene Woodley) dan Gus (Ansel Ergot). Tentu saja, sebagai film penyesuaian dari pengarang yang sama yaitu John Green, ditambah dengan penulis naskah yang sama dengan yang mengerjakan The Fault in Our Stars, Paper Towns menyimpan beban berat untuk setidaknya bisa menandingi kesuksesan dan kualitas The Fault in Our Stars. Sayangnya, Paper Towns bukanlah film yang bagus. Banyak aspek yang menciptakan film ini jauh lebih mengecewakan dibandingkan The Fault in Our Stars.

Paper Towns bercerita wacana Quentin "Q" Jacobsen (Natt Wolff) yang naksir berat dengan tetangganya dan sahabat masa kecilnya yang cantik, Margo Roth Spiegelman (Cara Delevingne). Sayangnya, aksara keduanya jauh berbeda. Margo yakni gadis paling terkenal di sekolahnya dan bahagia berpetualang hingga yang ekstrim-ekstrim, sedangkan Q tipikal cowok kutu-buku yang tidak pernah berani keluar zona nyamannya. Alhasil, mereka tidak lagi seakrab jaman kecil dulu. Namun suatu malam kehidupan Q berubah dikala Margo muncul di dalam kamarnya, meminta dukungan Q untuk membalaskan dendam alasannya yakni diselingkuhi kekasihnya. Malam itu pun menjadi malam yang tidak terlupakan bagi Q. Tapi keesokan harinya Margo menghilang secara misterius. Lalu Q menemukan petunjuk demi petunjuk yang sepertinya sengaja diberikan Margo untuk memberitahukan keberadaannya. Dibantu oleh kedua sahabatnya, Ben (Austin Abrams) dan Radar (Justice Smith), Q mencoba mencari tahu keberadaan pujaan hatinya.

Sebenarnya, Paper Towns mempunyai premis yang menarik. Tidak melulu mengobral sekedar kisah cinta remaja, namun dibaliknya tersisip sebuah kisah pencarian jati diri, bagaimana mendobrak kemampuan diri sendiri, dan kisah persahabatan yang manis. Namun sayangnya, entah kenapa, gagasan mendalam itu gagal dihukum oleh Jake Schreirer dengan baik. Sebuah kisah yang menarik kenyataannya kurang digali mendalam dan tersaji hambar. Saya merasa adegan-adegannya kurang bisa ditampilkan dengan lebih dinamis dan mengikat emosi penonton. Banyak adegan yang terasa janggal, awkward dan nggak penting. Even the mystery itself it's not really that good. Tambahan konflik-konflik di dalamnya juga menciptakan film agak membingungkan dan malah terkesan ada plot-hole (sebagai referensi konflik antara Margo dan sahabatnya Lacey (Halston Sage) yang nggak terselesaikan hingga akhir). Ada banyak momen-momen lucu sebenarnya, dan seandainya ini digarap dengan full-comedy alih-alih lebih fokus ke drama, saya rasa Paper Towns akan lebih menarik. (O ya, saya belum baca bukunya sih. Kaprikornus entahlah apakah bukunya kurang lebih sama dengan filmnya atau tidak).

Oke, kemudian apa dosa terbesar Paper Towns bagi saya? Karakter! Jika The Fault In Our Stars membuat saya bisa jatuh simpati kepada aksara Hazel dan jatuh cinta dengan aksara Gus, tidak demikian yang terjadi dengan Paper Towns. Karakter Margo sebagai perempuan terkenal indie dengan selera musik keren dan membaca buku semacam Walt Whitman, kemudian punya teman-teman geng terkenal yang otaknya kosong yakni pertentangan tersendiri. (How can Margo mengencani tipe cowok macam Jase?). *spoiler* Lalu kemunculan Margo tiba-tiba di rumah Q (padahal di sekolah aja beliau gag mau nyapa Q), ditambah kalau kau tahu endingnya, kau akan merasa Margo tidak lebih dari manipulative bitch! Oke, Margo elok dan asyik, tapi terang beliau bukan tipe perempuan yang kau rela untuk dicintai tokoh utama *spoiler ends*. Karakter Q yang merupakan tokoh utama juga tidak menciptakan saya jatuh simpati. Malah saya merasa beliau loser-nerd yang egois, dan cuma sibuk mengejar harapan bodohnya sambil merepotkan teman-temannya. It's hard for me to care about Q. 

Lalu dosa besar berikutnya yang merupakan dosa besar bagi sebuah film romantis yakni chemistry-nya kosong. Awkward sekali melihat Cara Delevingne dan Nat Wolff menari di sebuah gedung kantor. Tidak ada momen di film ini juga yang bisa meyakinkan saya bahwa Q memang mengasihi Margo, dan Margo bahkan bukan tipe cewek yang layak diperjuangkan. Cara Delevingne dengan bunyi seraknya memang sangat cocok sebagai perempuan indie eksentrik yang menarik, namun aktingnya tidak bisa dibilang bagus. Sebaiknya beliau konsen saja ke karir modellingnya. Namun berdasarkan saya yang parah yakni akting Nat Wolff yang hampa. Aktingnya kurang ekspresif, auranya juga kurang "dapet", ditambah lagi dengan aksara Q yang annoying - terang Q bukan tokoh utama yang menarik hati. Dan chemistry antara Margo dan Q juga terasa aneh. They're not good couple! *spoiler* malah rasanya Q lebih cocok dengan aksara Lacey, sahabat Margo. Bahkan ada beberapa momen di film ini yang menciptakan saya mengira bahwa seharusnya Q dengan Lacey *spoiler ends*

Ya, Paper Towns jelas bukan film yang bagus dan cukup mengecewakan kalau dibandingkan The Fault in Our Stars, tapi tidak bisa dibilang tidak ada momen-momen yang cukup menyenangkan. Kebersamaan Quentin dan sahabat-sahabatnya tetap asyik dan hangat (walau bisa digarap lebih baik lagi), malam liar yang dilakukan Q dan Margo cukup seru, dan soundtracknya cukup oke. Selain itu saya cukup kagum bahwa Margo kecil cukup seolah-olah dengan Margo dewasa, dan cameo Ansel Egort cukup menghibur.

Overview:
Premis Paper Towns sebenarnya lebih menarik kalau dibandingkan The Fault In Our Stars yang jelas-jelas memancing air mata penonton. Paper Towns yakni sebuah film cinta remaja yang tidak menye-menye, dan justru lebih fokus kepada pencarian jati diri dan persahabatan. Sayangnya sutradara Jake Schreier gagal mengeksekusinya dengan baik. Nat Wolff berakting kaku dan membosankan, Cara Delevingne juga tidak terlalu bagus, dan chemistry keduanya terasa awkward. Yang terburuk: karakterisasi kedua tokoh utamanya Margo dan Quentin sama sekali bukan aksara yang memikat saya sebagai penonton wanita. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Paper Towns (2015) (3/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel