Train To Busan (부산행) (South Korea, 2016) (4/5)
RottenTomatoes: 93% | IMDb: 7,9/10 | Metascore: 73/100 | NikenBicaraFilm: 4/5
Rated: NR
Genre: Action & Adventure, Horror
Directed by Yeon Sang-ho ; Produced by Lee Dong-ha ; Written by Park Joo-suk ; Starring Gong Yoo, Kim Su-an, Jung Yu-mi, Ma Dong-seok, Choi Woo-shik, Ahn So-hee ; Music by Jang Young-gyu ; Cinematography Lee Hyung-deok ; Edited by Yang Jin-mo ; Production company RedPeter Film ; Distributed by Next Entertainment ; World Release dates 13 May 2016 (Cannes), 20 July 2016 (South Korea), 22 July 2016 (United States) ; Running time 118 minutes ; Country South Korea ; Language Korean
Story / Cerita / Sinopsis :
Seok-Woo (Gong Yoo) mengantarkan putrinya dengan naik kereta untuk mengunjungi mantan istrinya di Busan sebagai hadiah ulang tahun putrinya. Tanpa diduga sebuah serangan zombie terjadi di dalam kereta.
Review / Resensi :
Boleh dibilang Train To Busan adalah salah satu film Korea Selatan yang paling diperbincangkan tahun ini, at least terlihat dari bagaimana Indiewire bolak-balik mengulasnya dan juga bagaimana Train To Busan menjadi salah satu film Korea terlaris tahun ini. Mengetahui ceritanya sekilas, Train To Busan ialah zombie apocalypse versi Korea, yang pada pada dasarnya melibatkan zombie-zombie ganas yang menyerang di atas kereta. Harus diakui, Korea Selatan sudah menerima kawasan terhormat di pagelaran industri film internasional, dan saya harus mengakui itu juga alasannya ialah banyak film Korea Selatan yang sudah menerima kawasan di hati saya - sebagai pola The Host (2006) dan Oldboy (2003). So, now they make a zombie apocalypse? Well, sold to me!
Tapi rupanya lagi-lagi ekspektasi terlalu tinggi menjadi semacam boomerang, alasannya ialah saat kau sudah menerapkan ekspektasi tinggi dan pada kesannya filmnya tidak memenuhi standar ekspektasi yang kau harapkan, maka siap-siap kekecewaan menimpamu. Dan ini terjadi kala saya menonton Train To Busan. Awalnya saya berharap menonton pertunjukan horror agak gore dan non-mainstream ala Kin Jee-Woon (I Saw The Devil) atau Bong Jon-Hoo (Snowpiercer). namun Train To Busan ialah film zombie untuk kalangan mainstream - Train To Busan dirancang untuk menjadi blockbuster. Dan formula film blockbuster biasanya membutuhkan porsi drama yang kadang agak lebay dan cheesy, dengan dongeng yang terbilang standar dan predictable.
Sebelumnya, mari saya bahas dulu beberapa kelebihannya. Dibandingkan dengan zombie apocalypse yang terjadi di World War Z (2013) (mau nggak mau saya tidak sanggup untuk tidak membandingkannya dengan film itu), Train To Busan memang memperlihatkan skala lokal yang lebih kecil. Namun itu bukan masalah, alasannya ialah efeknya justru terasa lebih akrab bagi saya pribadi. Lagi santai-santai naik kereta tiba-tiba ada serangan zombie, siapa yang menduga? Efeknya (untuk skala film Korea) terbilang cukup oke, dengan beberapa momen intens yang cukup mendebarkan, walaupun momen intensnya tidak sekuat dan semasif World War Z. Kemunculan dan "sifat" zombienya sendiri sebetulnya cukup bikin kaget dan menakutkan, namun saya merasa harusnya momen-momen tersebut sanggup digarap dengan lebih besar lengan berkuasa dan lebih asyik.
Ada beberapa huruf yang menjadi sentral dongeng Train To Busan, dengan fokus utama dipegang oleh Seok-Woo (Gong Yoo), seorang fund manager yang harus berjuang dari serangan zombie sambil menyelamatkan sang putri. Karakter-karakter lainnya melibatkan dua orang pasangan Sekolah Menengan Atas yang kasmaran, nenek-nenek abang beradik, seorang laki-laki paruh baya yang egois, seorang homeless man, dan sepasang suami istri yang istrinya sedang hamil. Tidak ada karakter-karakter tangguh dengan background militer atau polisi yang sanggup menghajar zombie dengan gampang (kecuali mungkin huruf Sang-Hwa, sang suami dari istri yang sedang hamil yang kebetulan berbadan besar dengan mentalitas nekad), dan itu yang menciptakan pendekatan Train To Busan terasa lebih realistis. Ide-ide mereka cukup cerdik, namun mereka melawan zombie dengan ala kadarnya dan itu yang menciptakan Train To Busan tidak jatuh ke ambang "too good to be true" yang saya benci. Yang menarik juga ada sedikit sentilan morality issue tentang lebih baik menyelamatkan diri sendiri atau orang lain. Ini harusnya sanggup digarap dengan lebih greget dan dramatis lagi, namun sayangnya kurang digarap maksimal.
Lalu apa kelemahan utama film Train To Busan? Ya, ini ialah film Korea - dan jangan lupa salah satu ciri khas (atau mungkin daya tarik) film Korea Selatan adalah full of drama pengundang air mata. Menjatuhkan fokus utama kepada tokoh ayah yang egois dan sedang mencoba menjalin ikatan besar lengan berkuasa dengan putri kecilnya ialah formula yang terbilang terlalu sering di film-film menyerupai ini. Dan Train To Busan menyerupai menggelontorkan formula tearjerker overdramatic sampai ke tahap agak terlalu mengganggu buat saya. Belum lagi ada beberapa adegan yang agak-agak cheesy (melibatkan flashback memories dan slow-motion), serta kadang beberapa huruf bergerak terlalu lambat sampai bikin penonton gemas-gemas sendiri. Formula pasaran semacam ini mungkin akan berhasil menyenangkan penonton awam, tapi terang bagi sebagian orang (termasuk saya) membutuhkan hal yang lebih dari itu.
Overview:
Sebuah film zombie apocalypse versi Korea Selatan yang sebetulnya cukup menyenangkan dan menghibur untuk ditonton. Ada beberapa momen intens yang bikin kaget dan jantung berdebar-debar (walaupun seharusnya sanggup dibentuk dengan lebih besar lengan berkuasa dan menegangkan). Cukup asyik ditonton sambil lalu, namun dengan banyaknya film bertema serupa, Train To Busan tidak menyajikan sesuatu yang lebih orisinil. Satu-satunya yang menciptakan Train To Busan sedikit lebih unik ialah kenyataan ini film Korea Selatan. Belum lagi porsi drama-nya yang agak mendayu-dayu dan cukup mengganggu. It's good enough for blockbuster movie, but considering to be classic? Not at all.
0 Response to "Train To Busan (부산행) (South Korea, 2016) (4/5)"
Post a Comment