Krisha (2015) (4,5/5)


RottenTomatoes: | IMDb: 7,1/10 | Metascore: 86/100 | NikenBicaraFilm : 4,5/5

Rated: R
Genre: Drama

Directed by Trey Edward Shults ; Produced by J.P. Castel, Jonathan R. Chan, Chase Joliet, Trey Edward Shults, Wilson Smith ; Written by Trey Edward Shults ; Based on Krisha by Trey Edwards Shults ; Starring Krisha Fairchild, Robyn Fairchild, Bill Wise ; Music by Brian McOmber ; Cinematography Drew Daniels ; Edited by Trey Edward Shults ; Distributed by A24 ; Release date March 16, 2015 (SXSW), March 18, 2016 (United States) ; Running time 81 minutes ; Country United States ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Krisha (Krisha Fairchild) hadir pada sebuah pesta Thanksgiving keluarga yang telah ditinggalkannya selama 10 tahun.

Review / Resensi :
Krisha dibuka dengan potret wajah Krisha (Krisha Fairchild), seorang perempuan paruh baya, dalam mulut yang bizarre: gabungan linglung dan "kosong", dengan iringan scoring music dari Brian McOmber yang sama anehnya. My first impression was like... "Okay, am I gonna watch drama or horror movie?". Lalu adegan berlanjut memperlihatkan Krisha tiba dengan mobilnya - melalui pergerakan kamera yang mengalir tanpa terputus - ia tampak kikuk mencari rumah yang benar. Rupanya ia hendak menghadiri pesta Thanksgiving keluarganya. Ia kemudian disambut dengan ramah oleh saudara, saudara ipar, anak dan keponakan-keponakannya. Belakangan kita mengetahui bahwa Krisha yakni seorang mantan alkoholik dan drug abuser yang sudah sober, dan berniat memperlihatkan tekad berpengaruh kepada keluarga besarnya yang tampaknya pernah disakitinya dan ditinggalkannya di masa lalu. 

Sekilas, premis Krisha tampak ibarat family reunion movie dengan tema redemption, sebuah drama yang menciptakan kita murung sekaligus terharu. Ya.... tipikal film dengan pesan-pesan optimis dan positif ihwal mantan pecandu yang berusaha "tobat". Namun Krisha rupanya bukanlah tipikal film semacam itu. Dalam karya debutnya yang disutradarai, diedit dan naskahnya juga dikerjakan sendiri, Trey Edward Schultz menunjukkan bahwa ia yakni filmmaker yang talented dan jenius (I can't wait for his next horror movie in June!) yang bisa mengatakan atmosfer dan pendekatan berbeda dari sebuah family drama. Impresi pertama saya tidak berubah hingga akhir, saya ibarat menonton sebuah film drama dalam kemasan "horror". Sebuah experimental psychodrama yang terasa realistis dan surealis di dikala yang sama. Krisha is so.... bizarre, in a good way.

Krisha yakni tipe film yang membuatmu sadar bahwa untuk bikin film yang anggun kau nggak butuh dana banyak. Dana film yang hanya sebesar $14.000 ini didapatkan melalui Kickstarter, semacam pengumpulan dana untuk proyek-proyek kreatif. Dalam press release-nya, terungkap juga bahwa film ini cuma di-shoot 9 hari, dilakukan di rumah orangtua Schultz, dan nyaris semua bintang film dalam film ini yakni kerabat dan teman bersahabat Schultz. Yang lebih menakjubkan lagi, bintang film Krisha yakni bibi Schultz sendiri yang nama depannya juga Krisha. Gilak, untuk non-professional actress, akting Krisha Fairchild di sini keren dan natural banget. Ini semacam bukti bahwa talented gift actress ga harus A-list Hollywood Actress yang kudu dibayar mahal. Dan alasannya yakni memang diperankan oleh "orang beneran", kesan realistis aksara Krisha juga tampak lebih meyakinkan. Seorang perempuan paruh baya dengan badan yang tidak terlalu terawat dan rambut abu-abunya yang kusut. Demikian juga dengan para bintang film lainnya - ibarat bisa menampilkan suasana "American family" beneran. It's just like a family project, and it's so damn cool! Saya mau donk ama keluarga bikin film bareng-bareng kayak gini.

Kabarnya Krisha memang terinspirasi dari kisah faktual salah satu anggota keluarga Schultz yang punya persoalan yang sama. Melalui film ini, Schultz tampaknya hendak membicarakan bagaimana imbas kecanduan tidak hanya merusak pecandu, namun juga sanggup merusak hubungan keluarga. Yang menarik, Krisha memperlihatkan dua perspektif berbeda: melalui sudut pandang sang mantan pecandu, Krisha, dan anggota keluarga lainnya. Shultz tampaknya berusaha menampilkan anggota keluarga lainnya sebagai tipikal keluarga yang bersahabat dan bahagia, yang telah "move-on" tanpa kehadiran Krisha, namun kemudian berusaha "menerima" lagi Krisha. Tapi pada akhirnya, forgiving is not that easy (hal ini disampaikan melalui aksara sang anak (diperankan oleh Schultz sendiri) dan saudara ipar Krisha) dan kesabaran toh ada batasnya (disampaikan oleh saudara perempuan Krisha, Robyn). 

Lalu melalui perspektif Krisha, Schultz tampaknya berusaha mengajak kita mencicipi emosi dan chaos dalam otak Krisha - disampaikan melalui kombinasi pergerakan kamera yang simultan, lighting effect, dan scoring music yang absurd (tapi jenius). Kita ibarat dibentuk sama resah dan depresinya dengan Krisha. Acara Thanksgiving yang harusnya "hangat" terasa ibarat horror dinner menegangkan ala The Invitation (2015). Kebahagiaan dan kedekatan anggota keluarga lainnya justru ibarat keterasingan dan sumber kecemasan bagi Krisha. "The turkey" yang dimasak oleh Krisha yakni semacam simbolisme "bukti" yang harus ditunjukkan Krisha kepada anggota keluarga lainnya bahwa ia sudah berhasil keluar dari keterpurukannya. Dan sepanjang film ini kita dibentuk sama cemasnya dengan Krisha: apakah turkey itu berhasil dimasak atau tidak.

Menonton Krisha mau ga mau menciptakan saya teringat dengan Under The Skin (2014), walaupun kedua film ini punya genre yang jauh berbeda. Entahlah, mungkin alasannya yakni atmosfer eksperimental-nya yang kental dan terutama scoring music-nya yang absurd tapi..... cool! Keduanya ibarat 2 film yang akan disutradarai oleh Thom Yorke kalo doi bikin film. Yeah, it's a great and bizarre movie, namun saya merasa bahwa saya membutuhkan basic story yang lebih mendalam lagi. Saya merasa ingin tahu lebih dalam lagi mengenai kisah hidupnya. Saya ingin tahu bagaimana beliau meninggalkan anak dan keluarga lainnya, kenapa ia kecanduan hingga bagaimana ia mengatasi kecanduannya. Mungkin Schultz memang tidak bertujuan menyajikan film yang "lengkap" soal kisah hidup Krisha. Sooo... kalo emang tujuan beliau bikin penonton ingin tau dan terseret pada emosi dan simpati pada sosok Krisha dan keluarga lainnya, he did a great job.


Overview:
Jelas Krisha bukanlah tipikal family drama biasa. Dengan budget luar biasa tipis, Krisha berhasil menyajikan sebuah psychodrama yang menawan dalam keanehannya. Film ini terasa eksperimental, ibarat gabungan antara realisme dengan surealis, ibarat nonton film drama rasa horror-thriller. Kita dibawa untuk terseret pada emosi dan chaos dalam otak sang protagonis, Krisha. Dalam karya debutnya ini Schultz menunjukkan bahwa ia yakni sutradara yang brilian dan patut diperhatikan. And Krisha Fairchild? She is unbelievable!



Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Krisha (2015) (4,5/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel