Apa Yang Salah Dari Pengabdi Setan (2017)


Ngomong-ngomong, berhubung film ini kayaknya udah ditonton banyak orang, jadi resensi yang saya tulis ini akan penuh dengan spoiler ya. Saya agak gatel untuk nulis review ini tanpa spoiler, berhubung saya merasa film Joko Anwar ini punya banyak masalah... Itulah kenapa saya kasih judul review ini: Apa yang Salah dari Pengabdi Setan (2017). Saya tahu, review ini akan sangat dibenci oleh banyak orang yang memuja film ini. Apalagi sesama blogger lain pun bilang film ini bagus banget.

Saya nggak pernah mengklaim diri saya sebagai kritikus, soalnya seorang kritikus harus dapat obyektif dalam menilai sebuah karya film. Nah, saya cenderung sangat subyektif dan suka-suka aja kalo ngereview, dan kalau mood cerewet saya sudah keluar, saya akan terlihat menyerupai tukang cerewet yang menyebalkan (istilahnya: pretentious asshole). Sebagai penikmat film, saya juga selalu punya problem dengan film-film Indonesia. Entahlah, saya pokoknya sombong banget dan ga nasionalis sama film lokal. Film Indonesia yang saya akuin bagus sejauh ini cuma The Raid, dan itupun sutradaranya ga orisinil Indonesia. (Don't make me start to talk about AADC2.. that movie is crap. Cuma menang yang main bukan aktris-aktris alay aja trus dipuji-puji ama orang). Karena itulah, sebagian besar ulasan saya di sini mungkin dilatarbelakangi ketidakadilan saya soal menilai film lokal.... 

Waktu Pengabdi Setan heboh banget main di bioskop (dan bahkan ketika ini uda tembus 2 juta lebih penonton) dan dipuji-puji oleh banyak orang, saya sudah skeptis dan terlalu sombong untuk berangkat ke bioskop. Tapi trus saya baca review seseorang, yang bilang betapa "kacaunya" film ini. Malah justru ini yang bikin saya impulsif berangkat ke bioskop alasannya yakni penasaran. Bahkan malemnya saya ngebelain juga untuk nonton Pengabdi Setan versi tahun 1980 yang digarap Sisworo Gautama Putra, biar dapat punya perbandingan untuk nulis review ini. 

Pertama-pertama, bagi yang merasa film Pengabdi Setan tahun 1980 lebih angker daripada film versi Joko Anwar, niscaya yakni mereka yang punya sentimental nostalgia jaman kecil dengan film ini. Jelas, film Joko Anwar lebih baik dalam menampilkan segi horror yang lebih sesuai dengan selera tontonan generasi milenial. Kalau nonton film ori-nya, niscaya kita malah jadi ketawa. Adegan-adegan horror Pengabdi Setan versi Joko Anwar beneran punya nilai jumpscare dan unpredictable yang luput dari film-film horror Indonesia lainnya yang teramat murahan. Horrornya tampil sangat elegan dan menakutkan. Namun.... ya cuma sebatas itu bagusnya.

Joko Anwar mengulang kesalahan yang kerapkali menjadi duduk kasus kebanyakan film horror. Film horror mainstream biasanya terlalu sibuk menakut-nakuti penonton sehingga kedodoran dalam ngegarap naskahnya. Nonton Pengabdi Setan ini saya jadi teringat film-film horror Thailand sebangsa Shutter dan Ladda Land. Nakutin sih, tapi filmnya penuh plot hole dengan narasi yang males-malesan, ga solid, ga kohesif, dengan jalan keluar dan ending yang kelewat mudah. Akan berbeda contohnya bila Joko Anwar hendak menciptakan film yang penjelasannya sengaja dibentuk semisterius dan seambigu mungkin, sehingga plot hole atau "motivasi kenapa" yang ada nggak akan dipermasalahkan. Contoh, film It Follows atau The Shining. Tuh kan hantunya ga terang siapa, tapi ya ga masalah... tho emang filmnya ga bermaksud menceritakan hantunya apa dan kenapa. Beda dengan Pengabdi Setan yang di endingnya ingin "melogiskan" kenapa keluarga mereka diteror.  Belum lagi ketika Pengabdi Setan ini diakhiri dengan cara yang jadinya menggampangkan dan "lho-gitu-doank?".

Sebenarnya, naskah Joko Anwar ini potensial bila dapat disampaikan dengan lebih baik lagi Saya membaca betapa netizen ramai berdiskusi soal kenapa ini kenapa begitu, dan penjelasannya cukup logis dan seru. Namun, saya tetap merasa Pengabdi Setan ini kurang solid dan berpengaruh dalam memberikan maksudnya. Jika ditanya kenapa ada banyak plot hole, saya membayangkan Joko Anwar akan "ngeles" dengan bilang bahwa doi menyiapkan jawabannya di sekuelnya. Joko Anwar sepertinya emang ingin "memperumit" ceritanya dibandingkan dengan film orinya, namun jatuhnya malah ambyar. Bandingkan contohnya dengan film The Wailing, misalnya. Film itu juga nggak terang dan ambigu, namun sehabis menonton saya tidak merasa keambiguannya itu sebagai jalan dongeng yang nggak masuk akal, tapi murni alasannya yakni emang misterius dan penonton dapat berdiskusi dengan positif membahas filmnya selepas nonton. Sementara Pengabdi Setan ini kayak ada kesan, "Ih apaan sih masa tiba-tiba begitu? Lho itu tadi kerasukan kok ga jadi kerasukan lagi? Lho gimana sih ngapain si Hendra dibentuk mati? Lho si kakek dukun ini kok tiba-tiba muncul? Lho bapaknya tahu ga sih kalau ibunya ke sekte setan? Kalo tahu kenapa tingkahnya begitu? Si Bapak ga sholat alasannya yakni sekuler/agnostik atau alasannya yakni muja setan? Kenapa ngadain tahlilan? Lho masa neneknya mati bapaknya ga pulang? Lho kalo si ibunya emang pengen punya anak dengan meniduri lelaki lain kenapa harus gabung sekte, kenapa ga dengan cara normal menduakan aja? Lho masa begitu tahu adiknya ternyata pangeran iblis mereka eksklusif kabur gitu aja? Keluarga macam apa itu! dan seterusnya dan seterusnya...".

Selain itu, saya merasa film horror yang bagus yakni yang bukan mengumbar adegan hantu-hantuan sebanyak-banyaknya. Itulah kenapa saya nggak suka dengan The Conjuring 2, alasannya yakni film itu kebanyakan adegan hantu. Unsur paling menakutkan dalam menakut-nakuti insan yakni kecemasan, sehingga harusnya film horror yang baik itu fokus dalam building horror and intense atmosphere, namun sekali hantu atau setannya muncul, munculinnya ngagetin dan memorable. Ketika selama proses nonton kita sudah terbiasa dengan hantunya yang muncul terus, otomatis lama-lama jadi ga takut lagi. Pengabdi Setan jadi bermasalah alasannya yakni film ini sudah menakut-nakuti awal (dengan cara yang baik), tapi kemudian hantunya muncul berulang kali sehingga jatuhnya jadi ga nakutin dan tidak akan terlalu mengagetkan lagi. Saya kasih referensi film-film lain yang efektif dalam teror namun "hantu"-nya cuma muncul sedikit: Orphanage, Rosemary's Baby, Dark Water, A Tale of Two Sisters, Rings, atau bahkan Audition yang adegan slasher-nya cuma muncul belakangan.  Bagaimana dengan It? It (2017) bersama-sama juga terlalu banyak "hantu", namun kemunculan hantunya sangat kreatif dan seru sehingga itu yang bikin film ini bagus. 

Saya juga gundah ketika Pengabdi Setan ini dikatakan sebagai sebuah remake, berhubung garis besar ceritanya jauh berbeda dengan film orinya. Kenapa Joko Anwar harus ngotot untuk nge-remake film ini bila ia menciptakan banyak perubahan? Di film orinya tidak ada si Nenek, tidak ada sekte kesuburan pemuja setan, tidak ada kuburan di akrab rumah (yang by the way, ga nyambung juga sama ceritanya selain cuma buat serem-sereman), tidak ada pangeran iblis, tidak ada latar belakang si ibu yang menakut-nakuti anaknya. Emang sih, film orinya konyol banget dalam ngasih motivasi - bahwa keluarga yang sekuler itu "lemah iman". Tapi at least film ori-nya terasa lebih solid dan kohesif dengan garis besar ceritanya. Saya justru mikir, alasannya yakni Joko Anwar ngotot untuk menciptakan remake, maka beliau harus memasukkan unsur-unsur yang ada di film ori-nya ke versi dongeng beliau yang baru, dan jatuhnya malah ga nyambung dan maksa. Saya merasa si ustadz dan anaknya itu ga guna-guna banget (dan please deh, itu si anak ustadz nyepik-nyepik di makam sama cewek yang habis kehilangan ibunya...). Kalaupun Joko Anwar emang sengaja ingin "meledek" bahwa ustadz tetaplah insan biasa yang kalah berpengaruh sama setan, beliau juga tidak memanfaatkan subplot ini dengan maksimal. (Bytheway, sehabis discuss ini dengan teman.. beliau bilang kalau Joko Anwar menjelek-jelekkan profesi ustadz, bisa-bisa si Joko Anwar didemo orang di lapangan monas!).

(Edit tambahan: Rupanya, Joko Anwar bilang ini reboot ya? Cuma berhubung lebih banyak didominasi orang nggak tahu reboot sama remake, jadi dibilanglah remake). 

Berhubung pengetahuan film lokal saya masih sedikit, saya emang belum nonton semua film Joko Anwar. Cuma saya tahu bahwa Joko Anwar selalu unggul dalam tata artistiknya, namun di sisi lain saya selalu merasa ada kesan "lebay" dalam film-filmnya. Haha. Saya menemukan problem ini lewat Modus Anomali, Kala, dan Pintu Terlarang. Entahlah. Saya mungkin kelewat cerewet aja. Pengabdi Setan buat saya juga memperlihatkan hal yang sama. Apa sih yang bikin film horror Indonesia nakutin? Karena film ini lekat dengan kearifan setan-setan lokalnya yang emang terbiasa menciptakan kita ketakutan tiap malem Jumat. Kita selalu takut dengan kuburan, hantu orang yang sudah meninggal, hantu wanita rambut panjang, pocong, mayit yang bangkit lagi... Nah, Pengabdi Setan menampilkan ini semua dengan cukup meyakinkan - tapi menciptakan konklusinya dengan mengkhianati kearifan lokal. Sekte pemuja setan (occultism) dan anak iblis itu terasa sebagai folklore Barat, bukan dongeng gaib lokal. Akan lebih masuk nalar misalnya, bila Joko Anwar memasukkan unsur pesugihan, penglaris, kemenyan, atau bercinta dengan jin dan makhluk ghaib... kisah-kisah gaib yang sering kita baca di tabloid Posmo. 

Lalu.... saya agak terganggu dengan cast-nya. Saya bandingkan lagi dengan film The Wailing (maaf ya, saya kepikirannya film ini sih dari tadi). The Wailing itu terasa sangat realistis, alasannya yakni disupport oleh cast yang terasa sangat realistis. Pengabdi Setan ini ga butuh Bapak ganteng dan kelewat muda untuk jadi Bapak mereka (malah si Bapak di film ori-nya lebih terasa realistis). Saya juga heran kenapa pemain drama Bront Palarae dicast sebagai sang bapak, alasannya yakni mukanya yang berdarah Pakistan dan Thailand sama sekali ga "nyambung" dengan anggota keluarga lainnya (saya bilang begini niscaya ditangkis dengan alesan "kan anak-anaknya bukan anak bapaknya!" Tapi seenggaknya menyerupai dikit donk ama neneknya, atau mau dikasih alesan mungkin si kakek orang Pakistan?"). Dan please deh itu bapak kemudaan buat punya anak umur 22 tahun (mau dikasih alesan lagi kalo si Bapak pakai susuk abadi muda? Keluarga ga percaya takhayul tapi percaya susuk?). Cast lainnya bermain dengan lumayan, terutama si kecil Ian (M. Adhiyat) yang terlalu menggemaskan untuk jadi anak iblis dan yang jadi Toni (Endy Arfian), serta sang Ibu yang lebih serem pas belum jadi hantu (Ayu Laksmi). Cuma emang namanya film Indonesia ya... selalu keganjal dengan duduk kasus dialognya yang ga natural yang bikin akting pemainnya jadi susah. Karena siapa sih orang Indonesia yang ngomong sehari-hari pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar? (dan si kecil Bondi bilang begini: "Dari luar jendela kelihatan areal pekuburan...". Ada ya anak SD bilang kata "areal"?). 

Lantas, kenapa Pengabdi Setan banyak yang bilang bagus? Jawabannya simple: alasannya yakni film horror Indonesia lain kelewat jelek.

Cuma memang mudah-mudahan Pengabdi Setan ini dapat jadi standar gres bagi perfilman Indonesia untuk dapat bikin film yang bagusan dikit dan tetap disukai masyarakat. Saya harus memuji juga bahwa Pengabdi Setan bagus dalam segi horrornya, filmnya artistik dan sangat berciri khas Joko Anwar, saya juga suka desain set dan propertinya (rumahnya horror banget itu!), dan saya juga suka dress-dress manis Tara Basro. Saya berharap pada film berikutnya Joko Anwar bisa lebih memaksimalkan script-nya lagi.

* Sebenarnya bikin film horror yang terkenal itu tidak mengecewakan simpel lho dibandingkan bikin film-film lainnya. Selama fokus dan maksimalin horror scene-nya aja, dengan marketing yang baik, maka rata-rata penonton udah suka.\

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Apa Yang Salah Dari Pengabdi Setan (2017)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel