Kritikus Film Kog Kebanyakan Laki-Laki??

Tulisan ini ialah pemikiran random saya sesudah membaca sebuah berita. Awalnya saya ingin menuliskan uneg-uneg saya pada akun facebook saya, tapi saya merasa lebih relevan kalo saya taruh di blog ini. Namanya juga pemikiran random, maka maafkan kalau goresan pena saya beneran random dan melompat-lompat. Ini bukan esai formal, ini cuma sekedar racauan

THE LACK OF FEMALE MOVIE CRITICS

Dalam program Crystal + Lucy Awards, aktris pemenang Oscar untuk film Room, Brie Larson mengumumkan bahwa Sundance dan Toronto Film Festivals akan mengalokasikan kuota 20% jurnalis dari kalangan minoritas (perempuan dan kulit berwarna). Ia bilang bahwa filmnya A Wrinkle in Time flop di pasaran alasannya ialah kurangnya kritikan yang komprehensif, terutama menurutnya kritikus film dikala ini didominasi oleh laki-laki kulit putih. Kira-kira pidatonya begini: "I don’t need a 40-year-old white dude to tell me what didn’t work about A Wrinkle in Time. It wasn’t made for him! I want to know what it meant to women of colour, biracial women, to teen women of colour. Am I saying I hate white dudes? No, I am not. What I am saying is if you make a movie that is a love letter to women of colour, there is an insanely low chance a woman of colour will have a chance to see your movie, and review your movie,".

Terlepas dari apakah pidato ini cuma alasannya aja atas jebloknya A Wrinkle in Time di pasaran maupun evaluasi kritikus, tapi apa yang dibilang Brie Larson ada benarnya. Aktris Jessica Chastain sendiri juga pernah mengkritik kurangnya kritikus perempuan. Sebagai gambaran, di situs favorit kita semua, Rotten Tomatoes, pada animo 2013 kritikan yang masuk sebanyak 78% berasal dari kritikus lelaki dan hanya 22% yang perempuan. Beberapa tahun kemudian hasilnya juga ga banyak berubah. Berdasarkan penelitian Gender at The Movies dari top critics yang ada di Rotten Tomatoes, penulis untuk situs-situs hiburan dan film baik di media online maupun cetak (contohnya ibarat Entertainment Weekly) ialah sebanyak 91% lelaki, untuk general interest magazine dan sites ibarat Time dan Salon ialah sebanyak 80% lelaki, dan 72% lelaki untuk media online surat kabar.

Sebelumnya, mungkin sebagian dari kau bertanya emang apa sih gunanya kritikus film?

Biarpun blog ini cuma sekedar blog pribadi, namun alhamdulillah blog amatir nan apa adanya yang kayak gini aja bisa memberikan impact kepada sebagian orang, salah satunya menjadi rujukan rekomendasi film. Apalagi kritikus film serius beneran yang menulis di media besar. Yap, kritik film itu penting sebagai salah satu penunjang industri perfilman. Kritikus film yang baik bisa mengupas keindahan sebuah film semoga bisa lebih dipahami oleh pembacanya dan tentu saja mempengaruhi penonton. Bahkan, di abad media umum ibarat ini, review-an penikmat film melalui channel blog, vlog, podcast, status facebook, twitter, instastory sampai letterboxd juga punya efek. Brie Larson sendiri bilang bahwa pada kenyataannya review itu penting. Review baik dari kritikus film pada festival film menunjukkan peluang bagi film-film kecil dan independen untuk dibeli oleh biro besar. Selain marketing yang baik, review yang baik juga bisa mempengaruhi pendapatan sebuah film (contoh: Justice League yang termasuk flop alasannya ialah diduga review jelek dari kritikus).

Lalu apa efeknya kalau kritikus film perempuan sedikit?

Buat saya, namanya juga review dan opini, sulit untuk 100% obyektif. Selera orang berbeda, pengalaman orang berbeda, sifat orang berbeda, dan hal ini kuat terhadap opini kita wacana film yang kita tonton. Kritikus film yang mengabdikan dirinya pada bidang ini dan mempercayai bahwa film sebagai bentuk karya seni boleh jadi punya sudut pandang, kapabilitas dan pengetahuan yang lebih luas dalam menilai karya film, namun enggak berarti mereka 100% obyektif. Melissa Silverstein dari Woman and Hollywood menyampaikan hal yang kira-kira bisa merangkum opini saya, “Women have a different perspective than men. Not better, not worse, just different. We have our own lens in how we see the world and that makes our perspective vital,". Dengan sedikitnya kritikus film perempuan, maka sudut pandang di bidang ini akan disetir oleh opini-opini lelaki. Kita butuh lebih banyak kritikus perempuan (dan bermacam-macam ras sampai orientasi seksual) untuk memperkaya sudut pandang lain.

Meryl Streep juga pernah mengkritik minimnya kritikus perempuan. Ia menyebut bahwa situs ibarat Rotten Tomatoes dimana jumlah kritikus lelaki lebih banyak daripada perempuan bisa menjadikan persoalan pada film yang dibentuk oleh, untuk dan wacana perempuan. “I submit to you that men and women are not the same,” kata Meryl Streep pada sebuah konferensi pers di London. “They like different things. Sometimes they like the same things, but their tastes diverge. If the Tomatometer is slided so completely to one set of tastes, that drives box office in the U.S., absolutely.”

Saya sendiri tergelitik ketika melihat daftar sepuluh besar film terbaik versi IMDB. Daftar film terbaik ini berdasarkan rating penonton. Saya tuliskan di sini:
  1. The Shawshank Redemption 
  2. The Godfather
  3. The Godfather Part II
  4. The Dark Knight
  5. 12 Angry Men
  6. Schindler's Listy
  7. The Lord of The Rings : The Return of The King
  8. Pulp Fiction
  9. The Good, The Bad, and The Ugly
  10. Fight Club
Oh wow. Daftar film yang sangat "manly" dan "maskulin" sekali. Bahkan The Shawshank Redemption, yang genrenya drama - ialah tipe drama yang tidak akan menciptakan laki-laki aib mengakui kalau nangis dikala nonton film itu. Saya tidak menyampaikan daftar film di atas ialah daftar film yang buruk, namun sedikit lebih banyak sudut pandang perempuan akan mengekspos film-film yang lebih sesuai preferensi perempuan. Tanyakanlah kepada moviegoers pemuda apa film favorit mereka, maka kemungkinan besar mereka akan menjawab film-film ibarat film-film Nolan, Tarantino, dan Scorsese. Tanyakan kepada moviegoers cewek, maka mungkin film favorit mereka Mean Girls dan Harry Potter. Bukan, saya nggak menyampaikan bahwa selera pemuda dan cewek sangat jauh berbeda,atau selera perempuan lebih rendah dari lelaki, alasannya ialah perempuan yang menyukai Mean Girls bisa jadi juga menyukai Reservoir Dogs atau Fargo. Jika penonton perempuan lebih "bersuara" dalam menyuarakan selera filmnya, daftar 10 film terbaik di Top IMDB itu bisa jadi akan diisi oleh Lady Bird atau Little Miss Sunshine.

Saya juga ga bilang kalo penonton, kritikus film, sampai movie reviewer amatir lelaki ialah pria-pria seksis. Tapi cukup masuk akal kalau mereka lebih antusias melihat protagonis pemuda atau film wacana perempuan dari perspektif pria. Jessica Ellis juga ngasih pertanyaan yang bisa direnungkan, "Kenapa Stand By Me disebut sebagai film klasik sedangkan Now and Then masih dianggap sebagai film untuk anak perempuan?".

HOLLYWOOD YANG DIDOMINASI LAKI-LAKI

Sekarang, mari kita lihat citra besarnya. Industri perfilman Hollywood sendiri bisa dibilang terlalu macho alasannya ialah didominasi lelaki. Dalam 250 daftar film berpenghasilan tertinggi tahun 2015, hanya 9% diisi oleh sutradara wanita, 23% produser wanita, dan 22% yang tugas utamanya perempuan. Saya tidak ingin bicara soal kenapa perempuan sangat sedikit yang berkecimpung di dunia ini, namun ketika sutradara, produser, dan penulis naskah didominasi lelaki, sangat masuk akal kalau film-film yang ada akan didominasi oleh unsur-unsur maskulin dan protagonis lelaki. Saya rasa semua orang juga menyadari bahwa kita cenderung menghasilkan karya yang sesuai dengan latar belakang kita sendiri, yang artinya produser lelaki akan cenderung menciptakan film wacana lelaki, demikian pula sebaliknya.


Genre superhero ialah genre yang sangat maskulin. Hampir semua jagoannya pemuda (and handsomely straight). Cewek yang ada biasanya cuma pemanis yang anggun - tetap jagoan dan bisa beradegan laga, tapi kiprahnya nggak terlalu dominan. Yang lebih buruk, seringkali perempuan dalam film, komik maupun animasi genre ini digambarkan sebagai objek seksual belaka, salah satunya dengan ukuran payudara nggak normal atau dikasih kostum super hot. Sampai di sinilah hasilnya saya paham kenapa Wonder Woman tahun kemudian dipuja-puja oleh banyak orang. Disutradarai oleh seorang perempuan, Patty Jenkins, Wonder Woman menjadi icon superhero yang merepresentasikan dan empowering perempuan dengan sangat baik. Biarpun kostumnya mini, tapi Gal Gadot tidak "diseksualisasikan" secara berlebihan. Lebih menarik lagi, Wonder Woman sebagai jagoan di dunia yang sangat maskulin masih memiliki pandangan yang lekat dengan nilai-nilai feminim - walaupun sebagian orang akan mencemoohnya terlalu naif.

Bahkan, dalam genre romantis yang sering disebut sebagai genre yang perempuan sekali, screenwriter lelaki masih lebih dominan. Coba sebutkan film-film drama-romantis yang baik berdasarkan para kritikus: Eternal Sunshine of The Spotless Minds, Her, Submarine, High Fidelity, (500) Days of Summer, sampai Annie Hall - film-film ini ialah film yang mengambil sudut pandang lelaki, alasannya ialah penulis naskahnya ya lelaki. Ada juga sih yang screenwriternya pemuda dan protagonisnya perempuan, namun tentu kita masih tetap butuh perspektif dari perempuan beneran. Inilah kenapa Blue is the Warmest Color menjadi problematik: seorang laki-laki menyutradarai film wacana lesbian yang menampilkan sex scene 7 menit. Kritikan utamanya ialah film ini wacana lesbian tapi terasa ibarat sudut pandang lelaki. Kritikan yang sama mungkin bisa kita terapkan pada The Handmaiden-nya Park Chan-Whook. (Lebih dalam lagi, kita bisa mengkritik ketika ada film-film wacana LGBTQ yang dibentuk oleh mereka yang cissgender dan heteroseksual).

Itulah kenapa kita butuh lebih banyak cewek-cewek keren panutanque ibarat Greta Gerwig, Zoe Kazan, Patty Jenkins, Tina Fey, Amy Poehler, Gillian Flynn, Kathryn Bigelow, sampai Diablo Cody di dunia film. Mungkin juga kita ingin lebih banyak Manic Pixie Dream Boy di film-film romantis - pemuda idaman yang ditulis oleh screenwriter perempuan. Mungkin kita butuh lebih banyak film-film ibarat Ghostbuster (versi cewek) dan Oceans 8 (walau akan lebih menyenangkan kalau all-female lead characters ini punya kisah fresh yang tidak mengambil franchise film yang sudah ada).

Lalu apa efeknya industri dan kritikus perfilman yang bias gender dan secara umum dikuasai lelaki?

Ya, industri perfilman secara keseluruhan akan didominasi oleh apa yang lelaki sukai. Film-film yang "cowok banget" akan menerima ekspos, publikasi, dan review yang lebih baik dari film-film yang "cewek banget". In my opinion, ini yang terjadi pada film-film yang menyandang "cult-classic", sebagaimana daftar Top IMDB tadi, - dimana film-film yang "cowok banget" menjadi sangat secara umum dikuasai dan lebih populer.

Sutradara Karyn Kusama (The Inivitation) bilang, “To me it’s the question of female directors, writers, cinematographers, designers, editors, actors and critics. If you have substantially fewer of them in the world, then we’re missing a crucial human perspective, and the world suffers for it.”
....

ENCOURAGING MORE WOMEN TO WRITE A MOVIE REVIEW

Selama 8 tahun nulis blog ga penting ini, saya sendiri jarang menemukan mitra blogger perempuan lain yang khusus mengulas film. Bisa dilihat dari link sejumlah blog movieblogger Indonesia yang ada blog ini, jumlah movie blogger perempuan masih sangat sedikit. Blogger cewek yang saya tahu biasanya menulis soal craft, parenting, beauty, fashion, atau travelling.

Mungkin, hal ini akan jadi lebih menarik kalau ada orang yang bikin penelitian wacana selera film penonton dari perspektif gender. Apakah perempuan intinya tidak banyak yang menyukai dan maniak film sebagaimana lelaki? Apakah film ialah bidang yang sangat "maskulin" sebagaimana sepakbola dan otomotif? Ataukah perempuan memang sesuai dengan stereotype hanya menyukai drama korea yang menyek-menyek?

Menjawab pertanyaan terakhir, berdasarkan saya kayaknya enggak juga sih. Saya mengadakan survey kecil-kecilan di sebuah grup facebook pecinta film untuk mengetahui selera film cewek, dan range film tontonan mereka bermacam-macam mulai dari romantis baper macam The Notebook sampai horror macam Evil Dead, dari The Devil Wears Prada sampai American Psycho. Atau bisa dibilang begini: sesuka-sukanya seorang cewek dengan drama korea, minimal mereka juga suka nonton film-film blockbuster mainstream macam MCU dan Transformer.

Lalu... saya kepikiran ingin menciptakan blog atau web review film yang khusus untuk reviewer perempuan. Intinya, saya ingin encourage lebih banyak perempuan untuk rajin mengulas film (dan mungkin musik) - supaya ke depannya hal ini bisa memperkaya perspektif kritik film dari sudut pandang perempuan. Saya tahu, ini impian yang idealis dan muluk-muluk ya. Tapi kalo ada yang setuju dengan pandangan gres ini, saya siap mensupport lho. Siapa tahu bisa bikin Cherry Picks versi Indonesia.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kritikus Film Kog Kebanyakan Laki-Laki??"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel