Sicario : Day Of The Soldado (2018) (4,5/5) - Spoiler Review

SPOILER REVIEW


RottenTomatoes: 64% | IMDb: 7,4/10 | Metascore: 61/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R | Genre: Action, Thriller, Crime

Directed by Stefano Sollima ; Produced by Basil Iwanyk, Edward L. McDonnell, Molly Smith, Thad Luckinbill, Trent Luckinbill ; Written by Taylor Sheridan : Starring Benicio del Toro, Josh Brolin, Isabela Moner, Jeffrey Donovan, Manuel Garcia-Rulfo, Catherine Keener ; Music by Hildur Guðnadóttir ; Cinematography Dariusz Wolski ; Edited by Matthew Newman ; Production company Black Label Media, Thunder Road Pictures ; Distributed by Columbia Pictures (United States/Canada), Lionsgate (International) ; Release date June 29, 2018 (United States) ; Running time 122 minutes ; Country United States ; Language English, Spanish : Budget $35–45 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Matt Graver (Josh Brolin) kembali berhubungan dengan Alejandro (Benicio del Toro) ketika diminta menjalankan operasi diam-diam untuk memicu perang antar kartel Meksiko. 

Review / Resensi :
Saya teringat kala saya begitu terkesan sesudah menonton film Sicario (2015) dan semenjak itu menasbihkan diri sendiri sebagai fans Dennis Villeneuve. Demi menyambut film keduanya, Sicario: Day of the Soldado (atau sanggup eksklusif disingkat Sicario 2), saya nonton ulang Sicario - meresapi setiap aspeknya, supaya saya nanti punya bekal fresh ketika nonton sekuelnya dan sanggup nulis reviewnya dengan baik. Hal pertama yang akan saya katakan: Sicario: Day of the Soldado ialah film yang sama mengesankannya. Namun apakah ini lebih baik dari yang pertama? Sayangnya enggak. But it's still worth to watch in cinema. Oh ya, dan review ini akan mengandung spoiler - baik Sicario pertama dan kedua. Soalnya habis baca review spoilernya di Slashfilm, saya kebelet dan terinspirasi pengen ngebahas isi filmnya dan membandingkan film pertama dan keduanya. Sebagian review saya ini ialah saduran dari review di Slashfilm. So, bagi yang belum nonton, buruan nonton Sicario dan Sicario 2 yaa.. habis gitu gres baca review saya ini (kebalik ya nonton dulu gres baca review hahaha). 

Sicario ialah sebuah karya film thriller kriminal yang sempurna. Saya masih mikir kenapa film ini sampe ga lolos nominasi Best Picture Oscar pada tahunnya. Biarpun hasilnya biasa aja dari segi pendapatan box office, tapi Sicario menerima apresiasi yang luar biasa dari para kritikus. Namun yang kemudian jadi pertanyaan adalah: ngapain sih sampe dibentuk sekuelnya? Ini sama aja kayak No Country for Old Men dibuatkan sekuelnya. Akan tetapi... saya sih ga terlalu peduli. Selama film keduanya minimal masih menghembuskan roh yang sama dengan film pertamanya, dan Benicio del Toro masih main, saya akan memastikan diri untuk nonton. 

Walaupun masih dibintangi oleh Josh Brolin dan Benicio del Toro, namun film keduanya ini kehilangan Emily Blunt. Selain itu Sicario 2 juga kehilangan Dennis Villeneuve yang bangku sutradaranya diganti oleh Stefano Sollima. Sinematografer Roger Deakins digantikan Dariusz Wolski dan pengisi scoring music Johann Johannsson (yang sudah meninggal *sedih*) diganti oleh Hildur Guðnadóttir. Kehilangan nama-nama besar yang menciptakan Sicario pertama begitu kerennya, ada pertanyaan mengganjal apakah film keduanya ini masih akan sama bagusnya dengan yang pertama. Untunglah Sicario 2 masih punya screenwriter Taylor Sheridan (yang saya jadi ngefans juga alasannya ialah film-filmnya ibarat Hell or High Water (2016) dan Wind River (2017) ga mengecewakan). Scriptnya sekarang kerasa lebih kompleks, sama ambigunya, dengan skala agresi yang jauh lebih masif dan eksplosif dari sebelumnya.

Saya ingatkan yang terjadi di Sicario pertama, kisahnya mengikuti seorang distributor FBI Kate Macer (Emily Blunt) yang terlibat dalam sebuah operasi diam-diam dimana dirinya berhubungan dengan Matt Graver (Josh Brolin) dan seorang laki-laki misterius Alejandro (Benicio del Toro) dalam menilik sebuah kartel Meksiko. Di film keduanya ini, Sicario melenyapkan kiprah polisi yang ada pada film pertamanya dan full focus pada operasi militer AS, sebagaimana judulnya ialah Soldado, yang artinya "soldier". Setelah terjadi ledakan bom di Kansas City yang melibatkan jaringan terorisme ISIS, Matt Graver diminta "bermain kotor" untuk menghancurkan kartel Meksiko yang diduga membantu menyelundupkan para teroris itu. Caranya? Dengan menculik Isabele Reyes (Isabela Moner - yang bermain dengan sangat baik) yang merupakan anak salah satu bos kartel. Penculikan ini dibutuhkan akan memicu perang antar kartel. Matt-pun kembali meminta pertolongan Alejandro.

Yang saya sadari ialah Sicario 2 ini masih punya banyak kesamaan dongeng dan atmosfer dengan film pertamanya. Tentu saja ini ialah hal yang bagus, mengingat alasan penonton tiba ke bioskop ialah alasannya ialah cinta dengan film pertamanya (like me!). Kalau kau resah dengan film pertamanya, maka yang kedua ini mungkin juga akan membuatmu bingung. Naskah Taylor Sheridan masih sama ambigunya dengan yang pertama dalam menjawab pertanyaan siapa mitra dan siapa lawan, serta tidak ada klarifikasi rinci wacana apa yang gotong royong terjadi. Bedanya, yang pertama terasa lebih misterius alasannya ialah penonton diajak menonton dari sudut pandang abjad Emily Blunt yang tidak tahu wacana apa-apa yang akan ia hadapi atau apakah operasi gotong royong yang sedang ia jalankan. Sementara yang kedua ini kita menonton dari sudut pandang karakter Josh Brolin dan Benicio del Toro - yang kita sudah tahu siapa mereka dan apa misi operasi mereka.

Sicario pertama dibuka dengan scene tak terlupakan - kala penyergapan ke sebuah rumah bandar narkotika, FBI menemukan puluhan mayat yang disembunyikan dalam dinding rumah. Villeneuve, dibantu dengan sinematografi ciamik dari Roger Deakins dan scoring music brilian dari Johann Johannsson membuat opening scene itu begitu menegangkan dan mengakibatkan perasaan tidak nyaman. Sicario 2 ini melaksanakan hal yang sama dengan sebuah ledakan bom bunuh diri sebuah supermarket - kemudian dengan cerdas menampilkan sepasang ibu dan anak yang berusaha keluar supermarket namun terhalang oleh pelaku bom bunuh diri, and then boom! Jelas ini adegan pembuka yang akan bikin kau ngeri. Dalam menampilkan adegan action-nya, Stefano Sollima juga bekerja dengan baik. Scene tembak-tembakan di tengah gurun itu cukup intens yang semakin tepat jika kau menontonnya di bioskop. Hildur Guðnadóttir yang sebelumnya pernah berhubungan dengan Johann Johansson juga sangat baik mendukung mood dan tone keseluruhan film dengan iringan musik gubahannya - surely he make Johannsson proud. Namun perlu diingat: biarpun saya bilang Sicario 2 ini lebih banyak aksi, jangan mikir kalo actionnya serupa dengan film-film action lain yes. Ini tetap aja film yang lebih nonjolin thrillernya daripada action.

Overall, I'm very okay with this sequel. Saya keluar dengan cukup puas, walaupun saya tidak sanggup menyampaikan film ini sempurna. Jadi mari kita break down beberapa kesalahan yang bikin film ini tidak terlalu memuaskan saya dan semua kritikus (skor di Rotten Tomatoes cuma 64%).

MAJOR SPOILER ALERT

Pertama, sebagaimana saya baca beberapa review-nya di Indiewire, Sicario: Day of the Soldado ini ibarat film yang sanggup dijadikan alat propaganda dan alasan bagi Donald Trump untuk menjalankan kebijakan-kebijakan ngawurnya dalam pembatasan imigran. Apalagi perilisan Sicario 2 berbarengan dengan Trump menciptakan kebijakan untuk memisahkan anak imigran dari orangtuanya. Baik film yang pertama maupun keduanya, Sicario bukanlah film kampanye wisata yang baik untuk pemerintah Meksiko. Sicario menampilkan kota yang dipenuhi kriminal kartel, orang-orang yang dibunuh, dimutilasi dan digantung telanjang di tengah kota, serta polisi korup - terperinci ini ialah citra seram yang bikin kita jadi xenophobia. Namun review yang dikait-kaitkan dengan pandangan politik ini kadang agak annoying dan jadi bias wacana kualitas film itu sendiri. Dan sebagai pembelaan, Sicario 2 sendiri melaksanakan hal yang sama dengan military Amerika Serikat yang digambarkan melaksanakan hal kotor untuk melaksanakan "hal yang baik bagi kepentingan mereka sendiri". Makara film ini udah terperinci ga ada hitam ga ada putih.

Kedua, sebuah film thriller yang baik harusnya punya tokoh dimana penonton sanggup ngerasa empathetic atau nge-"root". Makara ketika timbul situasi mengancam jiwa, kita tahu harus berpihak kepada siapa dan siapa yang jangan hingga mati. Sicario pertama punya Kate Macer (Emily Blunt), distributor FBI idealis yang dimanfaatkan dalam pusaran operasi yang ia tidak tahu benar apa misi operasi itu. Karakter Benicio del Toro yang misterius di Sicario pertama begitu menarik justru alasannya ialah ia ialah supporting character. Sementara dengan tidak adanya abjad Emily Blunt di film kedua, protagonis dialihkan ke Matt Graver (Josh Brolin) dan Alejandro (Benicio del Toro). Dan kita tahu betapa macho dan kuatnya kedua abjad tersebut, sehingga unsur kecemasan ga sanggup sepenuhnya kita dapatkan. Sicario 2 kemudian memunculkan dua tokoh dewasa - si Isabela Reyes yang diculik, dan dewasa perjaka yang terlibat geng penyelundupan imigran - dengan keinginan kita sanggup nge-root ke mereka. Tapi sayangnya tetap aja kurang dapet feel-nya jika dibandingkan film pertamanya..

Hal ini tentu kuat terhadap level intens-nya, yang bikin Sicario 2 tidak semenegangkan film pertamanya. Sudah cukup mengenal kapabilitas Matt dan Alejandro, ini membuat kita berpikir semua akan baik-baik saja - kurang lebih sama ibarat ketika kita nonton John Wick. John Wick ialah abjad badass, dan filmnya bukan wacana kita mencemaskan karakternya akan mati, tapi akan bagaimana ia menghajar lawan-lawannya. Demikian juga yang terjadi dengan abjad Matt dan Alejandro. Hal ini tentu agak mengurangi "kengerian" Sicario yang menonjolkan unsur realisnya. Selain itu harus diakui, Villeneuve tampil lebih kuat dalam membangun atmosfer mencekamnya (dan semua itu juga berkat dukungan Roger Deakins yang sayangnya tidak berhasil dilakukan dengan lebih baik oleh Dariusz Wolski). Inget ga sih, scene adegan tembak-tembakan di jalan raya yang fenomenal itu. Scene itu aja building tense dan terror-nya 10 menit sendiri (dimulai dari abjad Emily Blunt tiba dan "bertamasya"  di Juarez, Mexico) dengan berpuncak pada adegan tembak-tembakan di tengah jalan raya yang lagi macet. One of my favorite scene in action-thriller movie. Sementara Sicario 2 ini tidak punya momen yang benar-benar sekuat dan semencekam film pertamanya selain adegan suicide bomb di potongan awalnya.

Lalu mari kita bicara adegan terbaik dan paling mengejutkan yang ada di Sicario 2 ini. Oh yes, pas si Alejandro ditembak mati di kepala. Seisi bioskop eksklusif hening, dan saya shock pake banget sambil mikir, "Fuck!" (*tapi dalam versi pisuhan lokal*). Tapi kemudian doi bangun. Masih hidup donk ternyata walaupun dengan pipi berlubang. Lalu ketegangan super mencekam tadi perlahan hilang dan saya merasa dongeng kemudian terasa silly dan too good to be true (belum lagi ketika cepat banget si Alejandro berjalan dan menemukan mobil). Buat saya ini agak ngerusak mood. Akan sangat depresif ketika Sicario 2 ini diakhiri dengan maut Alejandro di tangan seorang dewasa newbie. Yaaaa... saya bahagia sih ia masih hidup (yang artinya sudah niscaya akan ada film ketiganya), tapi hal ini malah kerasa agak cheesy. Prediksi saya doi akan mati di Sicario selanjutnya. If you want to end this trilogy perfectly, ending film ketiganya harus sedepresif dan se-gendeng mungkin.

Terakhir, wacana bagaimana ketika kita melihat sisi lain dari Alejandro dan Matt sebagai laki-laki bermoral. Ini ialah hal yang mulia gotong royong di dunia nyata, tapi yang bikin Sicario pertama sangat mengesankan ialah alasannya ialah filmnya diakhiri dengan ngeri dan mencekam. Di Sicario 1, polisi meksiko yang awalnya ibarat tokoh yang ga ada hubungannya, tiba-tiba nasibnya ditembak gitu aja sama Alejandro tanpa ada rasa belas kasihan. Begitu pula adegan mengguncang ketika Alejandro dengan santainya menembak kedua anak dan istri Fidelo (bos kartel di Sicario 1). Terungkaplah bahwa sosok laki-laki misterius yang simpati dengan abjad Emily Blunt ternyata pembunuh berdarah hambar . Sementara itu, di Sicario 2, ia jadi luluh dengan nasib Isabela Reyes. Saya tidak tahu apakah tujuannya memang ingin memperlihatkan sisi lain yang sympathetic, tapi risikonya film ini ga punya ending sebaik dan sama mengesankannya dengan yang pertama. Alejandro mungkin punya alasan personal yang sanggup dimaklumi dalam pengembangan karakternya - terutama ketika kita tahu ia punya anak wanita tuna rungu yang sudah meninggal dan seiring dengan waktu ia menjalin ikatan dengan Isabela. Namun ketika Matt-pun kemudian melaksanakan hal yang sama kepada Isabela, kita tidak diberi background story yang layak untuknya bertindak lunak terhadap Isabela. Hal ini bikin karakternya jadi berasa ga konsisten. Intinya, filmnya jadi terlalu soft. (Astaghfirulloh, apa saya pengen endingnya beneran lebih berdarah-darah lagi ya. What is wrong with me?).


Overview :
Sebuah sekuel yang tidak terlalu perlu, dan bukan kiprah yang gampang untuk menandingi film pertamanya. Sicario : Day of the Soldado menawarkan dongeng dengan skala yang lebih luas dan adegan agresi yang lebih eksplosif, namun sayangnya level intensnya tidak berhasil mengalahkan film pertamanya dan agak sedikit lemah di potongan endingnya. Untungnya, naskah Taylor Sheridan masih menyisipkan beberapa elemen kejutan yang menarik, dan Stefano Sollima dengan baik menyampaikan aura dan atmosfer yang sama dari film pertamanya. Bukan sekuel yang lebih bagus, tapi sangat layak untuk disaksikan. DI BIOSKOP.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sicario : Day Of The Soldado (2018) (4,5/5) - Spoiler Review"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel