Bohemian Rhapsody (2018) (4/5)


RottenTomatoes: 62% | IMDb: 8,4/10 | Metascore: 49/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: PG-13 | Genre: Drama, Biopic

Directed by Bryan Singer[a] ; Produced by Graham King, Jim Beach ; Screenplay by Anthony McCarten ; Story by Anthony McCarten, Peter Morgan ; Starring Rami Malek, Lucy Boynton, Gwilym Lee, Ben Hardy, Joe Mazzello, Aidan Gillen, Allen Leech, Tom Hollander, Mike Myers ; Cinematography Newton Thomas Sigel ; Edited by John Ottman ; Production company 20th Century Fox, New Regency, GK Films, Queen Films ; Distributed by 20th Century Fox ; Release date 2 November 2018 (United States) ; Running time 134 minutes ; Country United Kingdom, United States ; Language English ; Budget $50–55 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sebuah biopik perihal Queen, dan khususnya sang vokalis Freddie Mercury dari awal mereka terbentuk sampai konser mereka di Live Aid 1985.

Review / Resensi :
Intermezzo: Sungguh saya yakni blogger yang paling telat kalau menulis review. Mungkin ini bisa dijadikan ciri khas blog ini: "Oh, nikenbicarafilm itu yang kalo ngereview selalu telat itu ya?". Atau ini bisa saya jadikan tagline: "Bukan nikenbicarafilm kalau tidak telat". *Huft*. Kalau review Bohemian Rhapsody ini gres ada kini - satu bulan lebih sehabis filmnya tayang di bioskop Indonesia, itu alasannya yakni memang saya gres nonton. Telat banget kan! Tapi menariknya, menonton ini sebulan sehabis penayangannya, bioskop yang saya datangi masih dipenuhi oleh penonton. Dengan banyaknya antusiasme penonton kepada film ini, kepada Queen, dan betapa antusiasnya orang-orang dengan rekonstruksi konser Live Aid 1985 di bab akhir, ini menciptakan saya berpikir, "Oh wow, we still need a proper rock concert and truly rock band!". 

Ngomong-ngomong, ijinkan saya meracau sedikit out of topic. Jadi, saya selalu mengagumi musik-musik dekade tamat 60an sampai awal 2000-an. Khususnya, rock music. Ketika berdasarkan saya lagu dari band-band yang beneran "artist" masih diputar di radio dan didengarkan oleh banyak orang. At least, produser jaman segitu biarpun kapitalis tapi masih bisa mengenalkan kita ke musik yang berkualitas (seenggaknya di indera pendengaran saya yang sok-sokan indie ini). Makanya saya duka ketika tahun 2010-an ini kurun grup band sepenuhnya hilang dari ranah mainstream, dan publik lebih menggemari musik-musik EDM atau artis-artis pop yang berdasarkan saya tidak punya "soul". Saya suka K-pop (sebagian besar alasannya yakni saya sebal dengan pria-pria sok maskulin yang menghina member boyband Kpop kurang "lakik") , tapi K-Pop yakni mengenai bagaimana industri musik bekerja hanya untuk menghasilkan duit. Mereka mencekoki penonton dengan sesuatu yang menyenangkan, tapi tidak punya "soul". Musik hanyalah sekedar pertunjukan, namun aspek originality, authenticity, dan sincerity sebagai seorang seniman itu jadi kurang berasa. 

Blaaaaahhhh entahlah saya ngomong apa sih.

Tapi, untunglah ada film ibarat Bohemian Rhapsody ini yang hadir kolam oase di padang pasir. Saya mungkin bukan fans Queen - walaupun familiar dengan beberapa lagu hits-nya - tapi saya mengakui Queen yakni legenda. Freddie Mercury, ga cuma dikenal sebagai seorang artist, tapi beliau juga seorang penyanyi dan performer yang luar biasa. Tak peduli bahwa Freddie Mercury populer sebagai musisi gay, orang masih saja tetap mengidolakannya. Mana ada coba homophobic yang berani menghina Freddie Mercury! (Seenggaknya yang paham musik yes). Dan antusiasme banyak orang terhadap film ini, merupakan sinyal positif buat saya bahwa banyak orang masih bisa menghargai karya musik bagus. 

Sebenarnya, produksi Bohemian Rhapsody cukup bermasalah dari awal. Proyek film ini sudah diumumkan dari tahun 2010, dengan Sacha Baron Cohen yang akan memerankan Freddie Mercury. Namun kemudian Cohen keluar dari proyek ini alasannya yakni adanya perbedaan visi, dimana beliau ngarep filmnya dibentuk lebih R-rated sementara personel Queen lainnya ibarat Brian May dan Roger Taylor ingin filmnya bermain kondusif dengan rating PG-13. Sempat terkatung-katung, tahun 2016 proyek kembali dilanjutkan dengan Rami Malek sebagai lead actor dan Bryan Singer sebagai sutradara. Tapi, Bryan Singer pun dipecat di tengah syuting film (kabarnya alasannya yakni ia lagi kena kasus tuduhan pelecehan seksual), dan diganti oleh Dexter Fletcher. Tapi, film ini sendiri masih memasang nama Bryan Singer sebagai sutradara. 

Sejauh ini, Bohemian Rhapsody tidak mendapat nilai yang baik dari para kritikus. Skornya di situs RottenTomatoes cuma 62% (6.1/10) dan Metascore cuma 49/100. Tapi perhatikan skor yang didapatkan dari penonton. Skor audience di IMDb mendapat 8.4/10 dan RottenTomatoes 91%. It means that no matter critics hate this movie, people still love it. Dan memang inilah yang saya rasakan: Bohemian Rhapsody memang tercipta untuk menyenangkan penonton. Baik mereka yang membutuhkan nostalgia alasannya yakni tumbuh cerdik balig cukup akal sambil mendengarkan Queen lewat radio dan kaset, atau penonton generasi gres yang mungkin tidak terlalu familiar dengan musik Queen sebelumnya. Waktu keluar dari bioskop, saya mungkin tidak merasa Bohemian Rhapsody adalah film yang benar-benar bagus, tapi nggak bisa dikatakan buruk juga. Yang terpenting: saya sungguh terhibur.

Tapi kritikan yang ada itu bukan tidak berdasar. Pertama, film ini memperkenalkan dirinya sebagai film yang mengangkat biopik Queen, dari awal mereka terbentuk sampai konser Live Aid yang fenomenal itu. Saya kutip premis dari situs IMDb: A chronicle of the years leading up to Queen's legendary appearance at the Live Aid (1985) concert. Namun, ketika menonton filmnya, kita tahu Bohemian Rhapsody yakni segalanya perihal Freddie Mercury. 

Kedua, film ini menyampaikan formula biopik seorang musisi yang kelewat generik dan klise. Seorang musisi jenius, lahir dari keluarga yang tidak mendukungnya, kemudian menapaki karir di bidang musik, berada di puncak ketenaran, terjebak pada hedonisme rock 'n roll dan popularitas, kemudian jatuh, dan kemudian melaksanakan redemption di akhir. Kritikan yang saya baca dari situs indiewire menyampaikan bahwa biopik ini bisa perihal musisi siapa saja. (But anyway, biarpun klise tapi berdasarkan saya sendiri sih scriptnya masih cukup solid). 

Ketiga, ada banyak hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sebagai contoh, di film Bohemian Rhapsody, konser Live Aid di tahun 1985 digambarkan sebagai wahana penebusan dosa bagi Freddie Mercury. Sebelum konser, ia juga memberitahu teman-temannya bahwa ia terkena AIDS. Padahal, Freddie Mercury sendiri gres melaksanakan test HIV/AIDS pada tahun 1986/1987. Alasan Queen tidak segera memutuskan untuk tampil di Live Aid lebih dikarenakan mereka lelah sehabis menjalani tur. Selain itu, Bohemian Rhapsody ibarat terlalu melimpahkan kesalahan pada Paul Prenter, sang manajer yang digambarkan manipulatif dan sepenuhnya evil, sementara grup band member lainnya kolam malaikat, dan Freddie Mercury kolam "anak-nakal" yang terjerumus salah pergaulan kemudian kembali bertobat di akhir. Di film, diceritakan Freddie Mercury terlibat percekcokan dengan anggota grup lainnya alasannya yakni ia ingin menciptakan solo album. Padahal, di kenyataannya Roger Taylor (sang drummer) yakni yang terlebih dahulu menciptakan solo album pada tahun 1981. Sebenarnya, sedikit berbeda dari kenyataan yakni hal yang masuk akal di film biopik manapun, but we talk about Queen! Kan fatal jikalau kita sepenuhnya menerka bahwa sejarah grup band Queen ibarat yang digambarkan di Bohemian Rhapsody. 

Keempat, ini yang paling penting. Bohemian Rhapsody tidak punya cukup keberanian (atau tidak cukup benar) untuk mengeksplorasi aspek seksualitas seorang Freddie Mercury. Freddie Mercury yakni seorang queer icon, namun ini kurang tertangkap dari penggambaran sosoknya di film ini. Mengutip dari apa yang dikatakan kekasih saya, bahwa menjadi queer adalah aspek yang menciptakan Freddie Mercury menjadi luar biasa. Namun di sini hal itu direduksi dan disederhanakan sedemikian rupa. Dalam sebuah percakapan antara Freddie dan kekasihnya Mary Austin, Mary bilang, "Freddie, you are gay". Lalu Freddie - yang sebelumnya mengaku bahwa ia seorang biseksual - tidak menjawab apa-apa. Ini ibarat penegasan bahwa Freddie yakni seorang gay selama ini, dan bukan seorang biseksual. Padahal, ia yakni biseksual. Mengatakan bahwa kalau tidak straight niscaya gay, yakni sebuah prasangka yang heteronormatif - dan film ini menegaskan itu (padahal orientasi seksual sendiri ibarat yang kita ketahui lebih bersifat spektrum). Kenyataannya, walaupun Freddie Mercury menjalin hubungan dengan Jim Hutton sehabis bersama Mary, ia juga masih menjalin hubungan dengan wanita lain. Dan bahkan ga cuma sekedar biseksual, kabarnya Freddie Mercury juga polyamori (iyes ia bekerjasama dengan banyak orang). Selain itu, sisi "gay" dari seorang Freddie Mercury hanya digambarkan sebagai hal yang menciptakan Freddie Mercury terperosok ke "dunia terlarang" dan kesannya memberinya kematian. Isu ini tentu menjadi problem besar ketika ini betapa sensitifnya isu-isu seputar LGBTQI. Dan Bohemian Rhapsody bukanlah representasi yang sempurna dalam menggambarkan sisi queer seorang Freddie Mercury. Tapi ngomong-ngomong, sosok Freddie Mercury sendiri sesungguhnya cukup kontroversi alasannya yakni biarpun semua orang sudah menebak apa orientasi seksualnya, Freddie Mercury sendiri tidak pernah mengakuinya ke publik. John Marshall dalam artikelnya di Gay Times tahun 1992 menulis, "He was a 'scene-queen,' not afraid to publicly express his Gayness but unwilling to analyze or justify his lifestyle,". 

Oke. Makara demikian hasil saduran saya dari beberapa kritikan yang saya baca perihal Bohemian Rhapsody (iya sebagian besar emang bukan dari pikiran saya sendiri). Menurut saya, kritikan-kritikan tersebut berdasar, namun sihir Queen menciptakan saya (dan kebanyakan penonton) tidak mempersoalkan kelemahan tersebut. Fans Queen tentu berasa orgasme habis nonton ini. Bohemian Rhapsody mungkin terlalu sederhana menampilkan aksara yang se-complicated, sefenomenal, dan sekompleks Freddie Mercury, serta grup band yang sehebat Queen. But who cares? Saya jamin penonton terbuai dengan musik yang ada, reka ulang konser Live Aid 1985 di bab kesannya (dimana konser Queen di Live Aid 1985 ini disebut-sebut sebagai konser terbaik yang pernah ada di dunia), dan tentu saja..... penampilan Rami Malek yang luar biasa sebagai Freddie Mercury. Waktu nonton trailernya saya bergotong-royong agak ragu dengannya, alasannya yakni saya takut image Elliot (karakternya di series Mr.Robot yang berhasil mengantarkannya meraih Emmy) akan kebawa di film ini. Tapi, semenjak pertama muncul saya beneran merasa bahwa Rami Malek telah berubah menjadi sebagai Freddie Mercury. Freddie Mercury mungkin boleh sedikit duka dengan Bohemian Rhapsody sebagai sebuah film, namun tentunya besar hati alasannya yakni Rami Malek telah menyampaikan penghormatan yang layak sebagai dirinya.

Overview :
Queen adalah satu grup band legendaris di ranah rock music, dan sang vokalis dan frontman, Freddie Mercury yakni salah satu vokalis dan performer terbaik yang pernah ada. Sayangnya, Bohemian Rhapsody bukanlah film yang hebat-hebat banget. Kritikan terbesar (dari para kritikus) yakni ceritanya yang klise, dan tidak cukup bisa menjelaskan sisi queer dan biseksual dari Freddie Mercury. Namun tho penonton tidak peduli dengan itu semua, alasannya yakni filmnya sendiri cukup menyenangkan untuk ditonton tanpa pretensi apa-apa. Sebagian besar, ini berkat sihir sang Queen dan akting Rami Malek. Walaupun, berbahaya jikalau kita percaya sepenuhnya dengan penggambaran kisah hidup Freddie Mercury sepenuhnya berdasarkan film ini. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Bohemian Rhapsody (2018) (4/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel