Crazy Rich Asians (2018) (3,5/5)



Chinese sons think their moms fart Chanel No. 5.

RottenTomatoes: 92% | IMDb: 7,3/10 | Metascore : 74/100 | NikenBicaraFilm: 3,5/5

Rated : R | Genre : Comedy, Romance

Directed by Jon M. Chu ; Produced by Nina Jacobson, Brad Simpson, John Penotti ; Screenplay by Peter Chiarelli, Adele Lim ; Based on Crazy Rich Asians by Kevin Kwan ; Starring Constance Wu, Henry Golding, Gemma Chan, Lisa Lu, Nico Santos, Awkwafina, Ken Jeong, Michelle Yeoh ; Music by Brian Tyler ; Cinematography Vanja Cernjul ; Edited by Myron Kerstein ; Production company SK Global Entertainment, Starlight Culture Entertainment, Color Force, Ivanhoe Pictures, Electric Somewhere ; Distributed by Warner Bros. Pictures Release date August 7, 2018 (TCL Chinese Theatre) August 15, 2018 (United States) ; Running time 120 minutes ; Country United States Language English ; Budget $30 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Rachel Chu (Constance Wu) ialah seorang economic professor di NYU, yang berpacaran dengan Nick Young (Henry Golding) - tanpa mengetahui bahwa Nick bersama-sama ialah anak konglomerat di Singapore. Rachel pun harus berhadapan dengan ibu Nick, Eleanor (Michelle Yeoh) yang tidak menyetujui kekerabatan mereka. 

Review / Resensi :
Akhirnya saya berkesempatan untuk nonton salah satu film yang paling banyak dibicarakan tahun ini: Crazy Rich Asians (yang kemudian istilah ini memunculkan istilah-istilah lain menyerupai Crazy Rich Surabayans, Crazy Rich Kalimantan - atau kebalikannya: Crazy Poor Asians). Film ini sendiri diangkat dari novel terkenal karangan Kevin Kwan, yang ternyata keturunan pendiri bank OCBC. Kepopuleran film ini sanggup dibilang disebabkan dua hal. Pertama, film ini menjadi "the-next-Black-Panther" lantaran menjadi salah sedikit film Hollywood yang menonjolkan gambaran non-kulit putih, dalam hal ini Asia (khususnya Chinese culture), sesudah The Joy Luck Club (1993). Ini tentu sebuah refreshment bagi Hollywood yang akhir-akhir ini diserang warta rasialis lantaran terlalu white-people-sentris. Kedua, Crazy Rich Asians ialah modern fairy tale ala Cinderella yang dipuja-puja banyak orang dan bikin banyak perempuan baper (Henry Golding eksklusif jadi standar pemuda Asia ganteng itu menyerupai apa). 

Sayangnya, saya nggak sanggup baper. Sungguh. 

Saya nonton ini dengan perasaan hampa, dan merasa bahwa Crazy Rich Asians tak lebih dari parade kemewahan yang menciptakan hidup saya terasa makin miserable. Letak permasalahan saya bukan ada pada premis film ini yang klise (tak ada yang lebih menggugah perasaan perempuan selain konflik istri versus mertua / calon mertua). Dalam genre rom-com, saya tidak merasa kisah yang klise ialah sesuatu yang krusial, lantaran kita perempuan-perempuan mendambakan kisah romantis klise ga masuk nalar untuk menghibur hati yang resah kareka kekasih yang kurang perhatian atau body kekasih ga sekotak-kotak Henry Golding. Namun saya merasa, keseluruhan film ini sendiri.... tidak terlalu baik dan biasa aja. Entahlah, mungkin lantaran ekspektasi saya jadi kelewat ketinggian sesudah secara umum dikuasai review yang saya baca bilang film ini bagus, atau saya salah pilih teman nonton (saya nonton dengan abang ipar saya yang auranya sama negatif dan nyinyirnya menyerupai saya).

Hal utama yang paling mengganggu buat saya ialah film ini di mata saya..... lebay. Haha. Kalau kalian suka kesal dengan film-film Indonesia yang ceritanya gitu-gitu aja dan mengandalkan syuting di luar negeri dengan barang-barang mahal, yang bahkan kau nabung satu tahun pun ga kebeli, maka di mata saya Crazy Rich Asians ini juga ga jauh beda. Saya tahu banyak orang yang merasa demikian juga, namun tidak keberatan. Sementara saya merasa glamorisasi ini terlalu berlebihan dan makan waktu, dan hasilnya berakibat film ini jadi kehilangan waktu untuk memberikan misi ceritanya. Adegan makan di street-food, pesta di "istana", bachelor/bachelorette party, wedding party..... Belum lagi scene awalnya yang buat saya cuma ingin menegaskan BETAPA KAYANYA KELUARGA MEREKA.  Saya juga terganggu bahwa film ini agak terlalu melebar dari konflik utamanya. Saya tahu film ini berdasarkan novel, sehingga memangkasnya menjadi satu film berdurasi dua jam menjadi pekerjaan yang sukar. Salah satu contohnya, berdasarkan saya konflik Astrid (Gemma Chan) itu ga relevan dengan jalan kisah utamanya. Belum lagi ada banyaknya aksara yang ditampilkan yang hadir hanya memenuhi stereotype "anak orang kaya yang sombong dan bodoh" atau muncul sekedar sebagai gimmick lucu-lucuan. Akibatnya film ini berdurasi 2 jam lebih, tapi buat saya terasa "kosong". 

Saya juga merasa, konfliknya kurang intens dan tidak ada momen "nonjok" yang saya butuhkan. Mungkin ini lantaran saya merasa beberapa obrolan dan plotnya terlalu lugas dan maksa (sebagai pola adegan cewek-cewek pemuja Nick Young yang membully Rachel dengan cara yang kasar). Bahkan, konflik antara Eleanor dan Rachel sendiri yang berdasarkan saya tidak "semenegangkan" itu. Buat saya dialognya yang menarik cuma pas adegan komedinya aja, dan itu tidak keluar dari ekspresi tiga aksara utamanya. Selain itu.... entahlah, saya ga tertarik dengan chemistry kekerabatan antara Rachel dan Nick. Saya ga percaya mereka dua orang yang jatuh cinta selain fakta bahwa Nick berbisik lirih "I love you" pada momen pesta ijab kabul yang glamor dan magical (yang bikin penonton cewek klepek-klepek - sementara saya biasa aja). Anyway, sejujurnya, aksara Nick Young lah yang paling bermasalah yang bikin film ini jadi hampa di hati saya. Doi bukan tipe pemuda yang bikin saya jatuh cinta lantaran ia terlalu tepat untuk jadi kenyataan. Kaya raya, pintar, ganteng, bodynya oke, putra konglomerat yang ingin melepaskan diri dari bayang-bayang kekayaan keluarganya, dan hidupnya lurus-lurus aja. Kelewat fictional and too good to be true. Eh.... tapi jika dipikir-pikir nggak juga ding. Nick ialah aksara yang buat saya terlalu lemah untuk jadi pasangan Rachel. Dan kekasih macam apa yang menyembunyikan jati dirinya sesungguhnya kemudian membawa pacarnya tanpa persiapan untuk menghadapi keluarganya yang menyerupai itu??? (Kayaknya pemicu utama konflik film ini ialah si Nick yang ga berdaya menjembatani kekerabatan antara kekasihnya dan ibunya sendiri). 

Nick boleh jadi aksara paling boring di film ini (serupa dengan karakter-karakter pemuda di film telenovela yang biasanya ga tegas berbuat apa-apa menghadapi konflik kekasih vs ibunya. Cowok-cowok itu menang ganteng doank aja!), tapi untungnya cewek-cewek di film ini badass semua. Ga cuma merepresentasikan sisi lain Asia, Crazy Rich Asians juga menjadi salah satu film yang menonjolkan kekuatan perempuan. Rachel Chu - diperankan oleh Constance Wu - menjadi aksara sentral yang tegas dan dewasa, hasil didikan yang baik dari ibunya, seorang single mother yang menjadi imigran di Amerika. Alih-alih sekedar menangis mendapatkan perlakuan tidak baik dari kompetitornya dan calon ibu mertua, ia menghadapinya dengan besar lengan berkuasa dan dewasa. Eleanor (Michelle Yeoh) juga perempuan dengan pendirian teguh dengan nilai-nilai kekeluargaan khas Timur yang ia junjung tinggi. Eleanor dan Rachel menjadi lawan sepadan, lantaran keduanya ialah aksara perempuan-perempuan tangguh. Dan hadir juga Peik Lin (Awkwafina), teman Rachel, yang memeriahkan film ini. Hampir semua dagelan yang bikin kita ketawa datangnya dari doi. She's a good side kick to Rachel.

Terakhir, ada sesuatu yang luar biasa mengganjal buat saya, dan ini mengandung spoiler. Saya merasa ending film ini terlalu: "Hah-gitu-aja"? Saya paham titik berat film ini bukan ada pada Eleanor yang tidak sepakat anaknya dengan Rachel lantaran si Rachel cuma anak orang biasa-biasa aja. Tapi lantaran adanya benturan dua budaya. Rachel mewakili "Chinese-American", dengan pola pikir ala Amerika-nya: mengejar mimpi individualisnya sendiri. Sementara Eleanor ialah tipe perempuan konservatif (or "old-fashioned") dari Timur yang mengutamakan keluarga di atas segalanya. Kedua hal ini ialah benturan yang tidak sanggup dielakkan, namun konklusi tamat film ini ga mengungkapkan apa-apa. Dengan Eleanor hasilnya memperlihatkan restu kepada Rachel dan Rachel yang mendapatkan pinangan Nick, lantas apa? Bukankah ini artinya satu idealisme harus dikorbankan? Idealisme siapa? Rachel atau Eleanor? Ketika penonton melihat hasilnya sebagai happy-ending, saya justru ngeliat ending filmnya sebagai awal dari kekerabatan yang tidak senang

Overview :
Secara politis, Crazy Rich Asians ialah sebuah warna gres bagi industri perfilman Hollywood lantaran membawa kultur Asia ke penonton mainstream internasional. Selain itu dalam genre romance-comedy, Crazy Rich Asians juga merupakan film yang cukup menghibur. Namun... buat saya cuma sekedar itu. Mengatakan Crazy Rich Asians sebagai salah satu film terbaik tahun 2018 akan terasa berlebihan. Filmnya bersama-sama tidak cukup solid, banyak subplot yang buat saya belebihan dan melebar dari konflik utamanya, dan aksara Nick Young yang "hampa" bikin saya sulit baper dan nge-root dengan permasalahan kedua aksara sentralnya. Crazy Rich Asians tak lebih dari parade pameran orang kaya Asia. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Crazy Rich Asians (2018) (3,5/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel