In Bruges (2008) (4,5/5)

Ray, you are about the worst tourist in the whole world. 

RottenTomatoes: 84% | IMDb: 7,9/10 | Metascore: 67/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R | Genre: Comedy, Drama

Directed by Martin McDonagh ; Produced by Graham Broadbent, Pete Czernin ; Written by Martin McDonagh ; Starring Colin Farrell, Brendan Gleeson, Ralph Fiennes, Clémence Poésy, Jérémie Renier ; Music by Carter Burwell ; Cinematography Eigil Bryld ; Edited by Jon Gregory ; Production company Blueprint Pictures, Film4 Productions, Focus Features, Scion Films ; Distributed by Universal Studios, Focus Features ; Release date January 17, 2008 (Sundance Film Festival), February 8, 2008 (United States), April 18, 2008 (United Kingdom) ; Running time 107 minutes ; Country United Kingdom, United States ; Language English ; Budget $15 million 

Story / Cerita / Sinopsis :

Ray (Colin Farrel) ialah seorang pembunuh bayaran yang melaksanakan kesalahan pada suatu misi. Ia pun dikirim oleh bosnya, Harry (Ralph Fiennes) ke Bruges (atau Brussel - bahasa Indonesianya), Belgia, bersama mentornya Ken (Brendan Gleeson). 

Review / Resensi :

Sebelum memulai membahas filmnya, saya mau sedikit dongeng out of topic dulu, bahwa baru-baru ini saya menyadari bila saya sudah jarang mengulas film-film lama. Akhir-akhir ini saya lebih sering mengulas film-film terbaru yang main di bioskop atau film tahun kemudian yang gres aja dapat saya jamah. Kalau mengejar traffic blog, saya sih juga pengennya membahas film-film terbaru doank. Tapi untuk mendiferensiasikan blog ini sendiri, saya juga pengen keep balance antara mereview rilisan film terbaru dan mereview (+merekomendasikan) film lama. Anyway, bila ada yang mau kasih saran untuk blog ini boleh banget lho kasih comment di bawah atau follow instagram saya di @nikenbicarafilm. Saya nih antara pengen makin "mempopulerkan" blog ini (biar dapat dimonetize, walaupun kayaknya susah banget), tapi juga ga pengen ninggalin idealisme. Begitulah

Oke. Yuk lanjut ke review filmnya. 

Sepuluh tahun sebelum Martin McDonagh terkenal berkat Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2018) - yang lebih dijagokan banyak orang sebagai pemenang Oscar tahun ini dibandingkan The Shape of Water-nya Guilermo del Toro, Martin McDonagh merilis debut feature film-nya lewat In Bruges. Sebelumnya, Martin McDonagh sendiri lebih dikenal di kancah dunia teater, dan merilis short story Six Shooter (2004) yang menang Academy Awards for Best Live Action Short Film. Dirilis terbatas, In Bruges bukan film yang menguntungkan di pasaran - biarpun cukup berjaya di ajang banyak penghargaan (salah satunya menang Best Original Screenplay di BAFTA Awards). Tapi seiring waktu, In Bruges adalah film dari dekade 2000-an yang belakangan memperoleh status cult. And oh yeah I fckin love this movie! (Maap kalo saya sok asyik mengumpat, tapi kalo kau sudah nonton film ini niscaya paham betapa kerennya mengumpat).

In Bruges bercerita perihal Ray (Colin Farrel), seorang pembunuh bayaran yang mengacau di pekerjaan terakhirnya. Saat ditugasi membunuh pendeta, ia tidak sengaja membunuh seorang anak kecil laki-laki. Harry (Ralph Fiennes), sang bos, kemudian mengirim Ray dan mentornya Ken (Brendan Gleeson) ke Bruges, Belgia, sambil menunggu arahan berikutnya. Ray serta merta membenci Bruges ("Ken, I grew up in Dublin. I love Dublin. If I grew up on a farm, and was retarded, Bruges might impress me but I didn't, so it doesn't"), sementara Ken yang lebih "berbudaya" menyukai betapa menariknya kota bersejarah itu. Cerita makin rumit ketika Ray kemudian bertemu dengan cewek anggun Chloe (Clemence Poesy)

Menonton In Bruges niscaya mengingatkan dengan Quentin Tarantino di kala tahun 90-an lewat filmnya Pulp Fiction (1994) dan Reservoir Dogs (1992). Bercerita perihal para pelaku kriminal, In Bruges dipenuhi dialog-dialog yang witty dan kocak, dengan nuansa black comedy yang dominan, kejutan komedi tak terduga, yang akan membuatmu tertawa bahkan semenjak beberapa menit awalnya ("Bruges is shithole!"). Hampir semua dialognya memorable dan punya punchline yang asyik. Selain mengingatkan saya dengan film-film Tarantino, In Bruges juga memuat alur dongeng penuh kebetulan yang mengingatkan saya dengan film-film Coen Brothers ibarat Fargo (1997) dan versi seriusnya No Country for Old Man (2007). Tidak salah ketika dua hal itu menjadikan In Bruges sebagai salah satu film tahun 2000-an dengan screenplay terbaik. Eh tapi sedikit peringatan, ketika kau mengharapkan In Bruges ialah film kriminal yang penuh adegan agresi yang menghibur, maka kau jangan berharap banyak dari film ini. Tapi bila kau suka film-film black comedy dan crime ala Coen Brothers dan Tarantino, In Bruges ialah film yang tepat. 

Ray: [crying] I killed a little boy!

Ken: Then save the next little boy. Just go away somewhere, get out of this business, and try to do something good. You're not going to help anybody dead. You're not going to bring that boy back. But you might save the next one.

Ray: What am I going to be, a doctor? You need exams.

Hal terbaik lainnya dari In Bruges ialah karakternya! Buat saya, Colin Farrel tampil paling mencuri perhatian sebagai lead character Ray - seorang hitman yang sarkastik sekaligus naif (dan uwuwuwu alis lebatnya menciptakan saya susah berkonsentrasi). Hampir semua obrolan konyol yang beliau bawakan dengan aksen Irish-nya menciptakan saya tertawa - puncaknya tentu saja ada pada gerakan karate yang beliau berikan ke Jimmy (Jordan Prentice). Perannya sebagai Ray sepertinya ialah salah satu akting terbaik yang pernah diberikan Colin Farrel, sedikit banyak huruf Ray ibarat dengan Vincent Vega dari Pulp Fiction, seorang pembunuh bayaran yang ceroboh dan keliatan baik hati. Performa Brendan Gleeson sebagai seorang mentor yang bijaksana juga menarik (dialog panjang ketika ia ditelpon Harry dan berbicara panjang lebar perihal Bruges itu memperlihatkan kapabilitas aktingnya). Ralph Fiennes, biarpun hanya muncul di saat-saat terakhir, tidak kalah mencuri perhatian dan mengakibatkan karakternya sama memorable-nya dengan kedua huruf utamanya. Bahkan karakternya aja sudah mengesankan ketika meninggalkan pesan ke resepsionis hotel. Yang lebih menarik lagi, hampir semua huruf di In Bruges punya porsi sedikit, tapi menawarkan impresi yang tidak gampang dilupakan.

Kalau kau muak dengan film-film Indonesia yang ceritanya alay dan sekedar menjual setting luar negeri sebagai gimmick filmnya, maka In Bruges adalah pola film yang benar bagaimana memasukkan unsur "setting-luar-negeri" sebagai materi relevansi cerita. Konon kabarnya Martin McDonagh terinspirasi menciptakan film ini sesudah doi menginap 2 ahad di Bruges, dimana pada awalnya ia mengagumi keindahan arsitektur kotanya sebelum jadinya merasa kotanya membosankan. Tampaknya hal ini kemudian melahirkan huruf Ray yang sarkas dan Ken yang optimis. Don't Look Now (1973) yang mengakibatkan Venice sebagai setting lokasi juga turut menginspirasi Martin McDonagh mengakibatkan Bruges sebagai setting lokasi. Menjelajahi Bruges lewat In Bruges menciptakan saya ingin suatu ketika mendatangi kota bersejarah ini (padahal biasanya saya hanya ingin pergi ke Amerika Serikat).

Overview :

In Bruges ialah sebuah satirical comedy yang layak menyandang status cult, dan tidak hanya mengakibatkan Martin McDonagh sebagai sutradara yang baik, namun juga seorang screenwriter yang brilian. In Bruges adalah sebuah petualangan menjelajahi kota yang begitu romantis, namun dalam crime comedy yang akan mengocok perutmu berkat scriptnya yang cerdas. Ketiga huruf utamanya memorable, dan berhasil dihidupkan oleh ketiga pemain drama utamanya dengan sangat baik. 

Share this post