Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013)




Directed by Sunil Soraya ; Produced by Sunil Soraua, Ram Soraya ; Written by Sunil Soraya, Imam Tantowi, Donny Dhirgantoro, Riheam Juniant; Starring Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian ; Running time 163 minutes ; Country Indonesia; Language Indonesia ;

Story / Cerita / Sinopsis :
Diangkat dari novel sastra tahun 1938 berjudul sama, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berkisah mengenai seorang yatim piatu Zainuddin (Herjunot Ali), yang lahir dari ayah keturunan Minang dan Ibu keturunan Bugis yang merantau ke kampung halaman ayahnya untuk kemudian hanya mengalami penolakan alasannya sopan santun Minang yang matrilineal. Kesedihan Zainuddin yang tidak diakui oleh sukunya sendiri menerima simpati dari Hayati (Pevita Pearce), yang pada jadinya jalinan cinta keduanya mengalami pertentangan. Masalahpun menjadi bertambah dikala Hayati terpaksa mendapatkan pinangan dari Aziz (Reza Rahadian), seorang aristokrat keturunan Minang asli.

Review / Resensi:
Pertama-tama, ijinkan saya mengaku bahwa saya bukan fans film Indonesia. Mungkin hal ini menciptakan kau berpikir saya bukan nasionalis, namun memang saya sedikit picky dengan film negeri sendiri. Finansial juga menjadi alasan logis mengapa saya tidak terlalu “mbelani” nonton film Indonesia ke bioskop – toh hanya selang beberapa bulan kau sudah sanggup menyaksikannya di layar televisi (gratis, tapi harus diakui iklan setiap beberapa menit menjadi hal yang kerapkali membuatmu ingin melempar remote TV ke ke layar). Selama ini tidak banyak film Indonesia yang berhasil menciptakan saya tertarik, sejauh ini saya hanya suka The Raid (yang gotong royong menjadi persoalan sendiri menyidik sang sutradara juga bukan orang orisinil Indonesia). Maka, dikala tidak sengaja saya melihat cuplikan alias trailer Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck – dengan setting ala The Great Gatsby yang begitu memukau, saya merasa yakin bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu salah satu film Indonesia yang harus saya tonton di bioskop. Lalu menontonlah saya. Dan cukup kecewalah saya. (Mungkin kau sanggup bilang saya sok cendekia alasannya tidak terlalu menyukai film yang cukup disanjung-sanjung banyak orang ini, tapi whatever, saya hanya mencoba jujur).

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (atas dasar kemalasan, selanjutnya saya singkat TKVDW) diangkat dari novel klasik karya Buya Hamka tahun 1938. Karya ini sendiri gotong royong menjadikan polemik: beberapa andal sastra Indonesia menuduh TKVDW merupakan bentuk plagiasi alasannya banyaknya kesamaan dengan karya seorang sastrawan Perancis. Terlepas dari itu, beberapa andal sastra Indonesia tetap mengakui bahwa TKVDW merupakan salah satu karya terbaik dari Hamka dan salah satu karya klasik di dunia sastra Indonesia. TKVDW tidak hanya berisi mengenai roman dongeng percintaan dua orang insan saja, namun karya sastra ini gotong royong sarat akan kritik sosial terhadap situasi sopan santun istiadat yang ada di Minangkabau.

Diangkat dari novel karya sastra lama, yang kisahnya tentu saja sarat akan drama dan cenderung mendayu-dayu, TKVDW berpotensi akan banyaknya adegan-adegan ala opera sabun yang sanggup jadi membosankan. Rupanya, pendekatan itulah yang tetap diambil oleh Sunil Soraya yang duduk sebagai bangku sutradara sekaligus penulis naskah bersama dengan Imam Tantowi, Donny Dhirgantoro, dan Riheam Juniant . Adegan mendayu-dayu ini memang begitu dominan, diperuntukkan untuk memancing air mata penonton – namun hal ini justru menjadi boomerang alasannya banyaknya adegan yang tidak perlu, dengan kalimat-kalimat cinta bertele-tele yang sepertinya disadur pribadi dari bukunya, pada dasarnya menciptakan saya bosan setengah mati. Saya pikir Sunil Soraya seharusnya mengambil pendekatan yang lebih relevan dan modern. Sunil Soraya sepertinya begitu fokus menghidupkan korelasi antara Zainuddin dan Hayati dengan percakapan cinta yang malu-malu (dan gotong royong canggung), serta adegan jatuh cinta – patah hati yang membosankan. Yes, adegan jatuh cinta pada pandangan pertama ala Bella & Edward itu sangat menyebalkan. Terlalu fokusnya Sunil Soraya pada adegan murung ala film India juga justru menciptakan esensi kritik-sosial yang gotong royong menjadi salah satu tema yang diangkat dari novel orisinil TKVDW menjadi tidak bernyawa. Terbuangnya Zainuddin dari sukunya tidak diberi porsi lebih yang meyakinkan, sehingga penggalan awal film ini seakan-akan berjalan begitu terburu-buru.

Selain itu, entahlah, saya hanya merasa akting kedua pemeran utama, Herjunot Ali dan Pevita Pearce begitu jauh dari yang saya harapkan. Kekuatan sebuah film roman tentu saja dibangun dari akting para pemeran laki-laki dan pemeran wanitanya, namun saya merasa perform Herjunot Ali dan Pevita Pearce begitu dibuat-dibuat. Salah satu penyebabnya mungkin alasannya abjad keduanya dibangun begitu minim. Terutama tugas Hayati yang sepertinya sepanjang film digambarkan begitu lemah, cengeng, dan annoying – dan menciptakan Pevita Pearce hanya berakting nangis lagi nangis lagi (oh, please!). Herjunot tampil lebih meyakinkan gotong royong – apalagi pada adegan menangisnya yang menunjukkan potensi yang dimilikinya, namun tetap saja ada yang mengganjal dari aktingnya yang terasa kaku dan ibarat bermain di panggung teater. Karakter yang kurang hidup ini justru menciptakan saya malah tidak bersimpati terhadap dongeng tragis keduanya, dan ini gotong royong jikalau boleh dibilang, kesalahan fatal.

Akting para pemeran pembantu lainnya gotong royong juga tidak lebih baik, terutama aktris pemeran Khadijah yang kualitas aktingnya masih kualitas artis sinetron. Dialog ala bahasa Minang juga terasa canggung dan aneh didengar (walau gotong royong orang Padang yang saya kenal cuma pedagang-pedagang di Tanah Abang). Akan tetapi, pada jadinya oase segar tiba dari Reza Rahadian yang berperan sebagai Aziz, yang akting antagonisnya begitu luwes dan meyakinkan, dan terang menunjukkan kapabilitas aktingnya jauh di atas para pemain drama lainnya (dan Ya Allah, Reza Rahadian ganteng sekalii di siniiii.. XD).

Diluar semua kritik yang sudah saya tulis panjang lebar di atas, TKVDW tetaplah salah satu film Indonesia yang begitu indah dalam mempresentasikan adegan demi adegannya. Sinematografinya begitu indah (tampaknya TKVDW yaitu film Indonesia dengan sinematografi paling baik yang pernah saya tonton), dengan setting retro-vintage yang memukau – yang sepertinya tidak menyia-nyiakan dana pembuatan film yang mencapai milyaran rupiah. Banyaknya figuran dalam banyak adegan ibarat adegan di pacuan kuda dan pelabuhan tanjung perak (kabarnya ada 5 ribu figuran di film ini) – menciptakan film ini tampak nyata. Begitu pula dengan mobil, lokasi dan kostum vintage yang begitu menarik hati dan asyik disaksikan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang mengganggu: tone biru yang dipakai pada adegan di Batipuh nampak terlalu “biru” dan cukup kontras dengan adegan lainnya serta adegan pemberangkatan kapal Van Der Wijck yang kelihatan sekali hasil rekayasa. Soundtrack musik dari Nidji sesungguhnya cukup yummy didengar – walau main song Sumpah dan Cinta Matiku memang terdengar ala Young and Beautiful Lana del Rey di film The Great Gatsby. Namun boleh dibilang kadang penempatan musiknya sedikit mengganggu, diulang-ulang, dan sedikit miss dengan setting filmnya.

Overview:
Kegagalan fatal dari film TKVDW yaitu skenarionya yang mendayu-dayu ala lagu dangdut, dan karakterisasi Zainuddin dan Hayati yang tidak begitu kuat. Akting Junot dan Pevita juga masih terasa kaku, sehingga kurang menghidupkan dongeng roman yang seharusnya terasa romantis sekaligus tragis (dan justru menciptakan saya menyinyirin abjad Hayati yang selalu menangis di segala kesempatan – tapi ajaibnya mata menangisnya nggak pernah merah, nggak bengkak, dan eye-liner-nya terbukti water-proof). Untungnya, TKVDW terselamatkan berkat akting Reza Rahadian yang menonjol (begitu pula dengan kegantengannya, haduuh..), setting retro yang glamor dan memukau, sinematografi yang begitu cantik, dan soundtrack dari Nidji yang layak untuk didengarkan. Akhir kata, TKVDW yaitu roman picisan yang dipresentasikan dengan mewah. Cukup layak lah untuk disaksikan.

NikenBicaraFilm: 3/5

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel