Everest (2015) (4/5)


"It's the attitude, not the altitude,"

RottenTomatoes: 73% | IMDb: 7,5/10 | Metacritic: 64/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: PG-13
Genre: Drama, Adventure

Directed by Baltasar Kormákur ; Produced by Tim Bevan, Eric Fellner, Baltasar Kormákur, Nicky Kentish Barnes, Tyler Thompson, Brian Oliver ; Written by William Nicholson, Simon Beaufoy ; Starring Jason Clarke, Josh Brolin, John Hawkes, Robin Wright, Emily Watson, Keira Knightley, Sam Worthington, Jake Gyllenhaal ; Music by Dario Marianelli ; Cinematography Salvatore Totino ; Edited by Mick Audsley ; Production company Cross Creek Pictures, Walden Media, Working Title Films, RVK Studios, Free State Pictures ; Distributed by Universal Pictures ; Release dates June 23, 2015 (CineEurope), September 18, 2015 (United Kingdom and United States) ; Running time 121 minutes ; Country United Kingdom, United States, Iceland ; Language English ; Budget $55 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Berdasarkan dongeng konkret perihal tim ekspedisi yang mendaki Gunung Everest tahun 1996 yang disertai dengan topan salju yang tidak diduga.

Review / Resensi :
Gunung Everest di pegunungan Himalaya yang mempunyai ketinggian 8.848 meter dikenal sebagai gunung dengan puncak tertinggi di dunia, dan telah usang menjadi simbol penaklukan tertinggi bagi para penggemar olahraga naik gunung. Dengan ketinggian tersebut, sulit bagi insan biasa untuk dapat bertahan hidup - entah alasannya yaitu altitude sickness (akibat tekanan udara dan oksigen yang rendah), suhu cuek yang ekstrem, serta kondisi alamnya yang sulit untuk dideteksi, menyerupai longsor dan lain-lain. Walaupun telah banyak pendaki yang berhasil hingga ke puncak tertingginya, namun rasio kematiannya juga cukup besar - mencapai 1 : 4 (berdasarkan data hingga tahun 1996). Itulah yang kemudian menjadi semacam pengantar pada adegan pembuka Everest, cukup untuk menciptakan penonton bergidik ngeri dan sebagian yang lain bertanya-tanya kenapa ada saja orang yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk dapat mencapai Everest?

Everest mengambil dongeng konkret bencana yang terjadi pada tahun 1996, dimana pada tahun tersebut pendakian ke puncak Everest telah dikomersilkan oleh sejumlah perusahaan. Salah satunya yaitu Adventure Consultant, dipimpin oleh Rob Hall (diperankan oleh Jason Clarke), yang kemudian menjadi sentral bergulirnya dongeng film Everest. Pendakian yang dilakukan 10-11 Mei 1996 ini kemudian menjadi makin berbahaya ketika terjadi topan salju andal yang tidak diduga pada dikala itu. Pendakian ini sendiri telah didokumentasikan oleh Jon Kraukauer (salah satu klien Adventure Consultant yang juga bergabung dalam grup pendakian tahun '96 tersebut) dalam bukunya berjudul Into Thin Air.

Disutradarai oleh sutradara Islandia, Baltasar Kormákur (namanya menyerupai nama yang diambil dari buku Harry Potter ya), Everest lebih seperti guide bagi para penonton perihal bagaimana cara mencapai Everest. Dalam durasi yang mencapai 2 jam, Everest lebih fokus dalam membangun ketegangan dan kendala yang terjadi selama proses pendakian. Everest sukses membangun gambar demi gambar yang menakjubkan. Tidak jarang kita akan dibikin terbuai oleh pemandangan gunung berselimut salju yang indah, namun juga menyimpan ancaman dengan resiko yang tinggi.  Dalam salah satu percakapannya, disinggung bahwa pendakian ke Gunung Everest bukanlah kompetisi antara orang dengan orang, namun orang dengan sang gunung. Melalui Everest, kita akan dibentuk memahami bahwa insan bukanlah siapa-siapa bila dibandingkan dengan alam (atau Tuhan, bila kau mau mencoba memaknainya lebih religius). Gunung Everest yaitu gunung yang angkuh, dan insan yang mencoba mendakinya bukanlah apa-apa. Sebagai dokudrama, Everest memang telah berhasil, namun bila ditinjau bahwa Everest yaitu sebuah film hiburan, maka sayangnya Everest kurang menggigit.

Salah satu kelemahan Everest terletak dari segi karakter. Memasang nama-nama besar menyerupai Jason Clarke, Josh Brolin, Jake Gylenhall, Keira Knightley hingga Emily Watson, Everest terlalu banyak mempunyai abjad yang menciptakan kita agak bingung. Terlalu banyak abjad bahwasanya bukan masalah, asal kita dapat menampilkannya dengan baik. Namun Everest menyerupai kurang berani dalam menerjemahkan abjad masing-masing, mungkin alasannya yaitu Everest mencoba menghormati tokoh-tokoh yang ada yang memang didasarkan dari tokoh nyata. Buruknya, hal ini justru menciptakan penonton kurang tenggang rasa dengan abjad - abjad yang ada, dan dramatisasi yang dibutuhkan dapat menciptakan penonton merasa murung justru terasa sedikit anti-klimaks. Memang, ada porsi drama yang lebih bagi tokoh Rob Hall (Jason Clarke) dan Beck Weathers (Josh Brolin), namun tetap saja bagi saya kurang memikat. Bahkan Jake Gylenhall yang saya tunggu - tunggu cuma nongol sebentar, dan berkesan gag penting. Ini terperinci bikin saya sedikit kecewa. Sebagai drama yang diambil dari dongeng konkret mungkin Everest sudah cukup menarik, namun menikmatinya sebagai sebuah film drama? Everest terbilang datar.

Tidak hanya kurang berani dalam mengeksplor karakter, Everest juga kurang berani dalam melaksanakan pendalaman konflik. Peristiwa tahun 1996 yaitu sebuah tragedi, dan seharusnya ada semacam analisa mendalam mengenai bagaimana insiden itu dapat terjadi, dan apakah ada pencegahan yang harusnya dapat dilakukan. Naskah yang dikerjakan oleh William Nicholson dan Simon Beaufoy hanya menampilkan konflik yang ada, contohnya persaingan antara konsultan komersil, secara minimal - tanpa sempat menciptakan penonton benar - benar dapat terjun memahami situasi yang ada. Selesai menonton Everest hanya menciptakan saya makin malas naik gunung, and that's all. Alangkah lebih baik bila Everest bisa lebih mengeksplorasi subtema lain yang lebih berbobot, contohnya apakah dengan bencana yang ada insan terdorong untuk makin egois atau justru rela menyelamatkan nyawa demi orang yang tidak terlalu dikenal?

Overview :
Everest tidak lebih dari sebuah documentary drama insiden tahun 1996, perihal salah satu pendakian paling berbahaya yang berujung pada tragedi. Everest akan cukup menghiburmu dalam menunjukkan agresi ketegangan yang ekstrem, dengan visualisasi panorama - panorama yang luar biasa indah - namun sebagai sebuah film, Everest agak bermain terlalu aman. Everest juga mempunyai terlalu banyak tokoh sehingga karakterisasi yang tidak digarap maksimal, dan agak ragu-ragu dalam menampilkan konfliknya. Well,  audience need more.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Everest (2015) (4/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel