Macbeth (2015) (4/5)


"I am in blood, stepped in so far,"

RottenTomatoes: 80% | IMDb: 7,2/10 | Metascore: 71/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R
Genre: Drama

Directed by Justin Kurzel ; Produced by Iain Canning, Emile Sherman, Laura Hastings-Smith ; Screenplay by Jacob Koskoff, Michael Lesslie, Todd Louiso ; Based on Macbeth by William Shakespeare ; Starring Michael Fassbender, Marion Cotillard, Paddy Considine, Sean Harris, Jack Reynor, Elizabeth Debicki, David Thewlis ; Music by Jed Kurzel ; Cinematography Adam Arkapaw ; Edited by Chris Dickens ; Production companies Anton Capital Entertainment, Creative Scotland, DMC Film, Film4, See-Saw Films ; Distributed by StudioCanal (UK), The Weinstein Company (US) ; Release dates 23 May 2015 (Cannes), 2 October 2015 (United Kingdom), 4 December 2015 (United States) ; Running time 113 minutes ; Country United Kingdom, France, United States ; Language English ; Budget $15–20 million

Story / Cerita / Sinopsis:
Berdasarkan Macbeth, karya sastra dari William Shakespeare, berkisah perihal Macbeth (Michael Fassbender) yang ambisius menjadi raja Scotland, dan kemudian terjebak dengan ambisinya sendiri.

Review / Resensi:
Kalo bukan demi si ganteng-idola-pujaan hati Michael Fassbender, saya mustahil akan sembelani itu untuk nonton Macbeth di bioskop. Sendirian. Sejujurnya, sebagai penikmat film, saya terbilang jarang nonton bioskop, apalagi nonton sendirian - nggak pernah sama sekali. Dan Macbeth menjadi film perdana yang saya tonton sendirian. I always think people (especially a girl) who watch a movie alone in theaters is kinda pathetic. And is it? Urgh, sort of. Haha. Tapi kemudian saya nggak nyangka juga bahwa menonton bioskop sendirian ternyata menyenangkan juga. Serius. Kamu bisa nonton dengan fokus tanpa perlu mendengar sobat di sebelahmu mengomentari film dengan sok tahu, sarkastik, atau bertanya hal yang bodoh. Selain itu kau juga tidak bisa berharap orang yang kau ajak tonton punya selera film yang sama kan? (Anyway, going on theaters alone prove it that being single doesn't mean you're unhappy).

Tentu, ada alasan kenapa Macbeth bisa menjadi karya sastra yang tidak lekang oleh masa. Karya ini sepertinya bisa merefleksikan sifat natural insan terhadap kekuasaan: ambisi, menjadi tamak, sampai ketakutan. Macbeth menggali ini dengan baik, melalui penokohan Macbeth itu sendiri. (Sebenarnya, ada alasan khusus kenapa legenda - legenda sampai cerita-cerita nabi itu menjadi dongeng yang tidak pernah punah di masyarakat: alasannya selalu punya nilai moral yang bisa dipetik, selama itu relevan pada masa kini). Macbeth (Michael Fassbender) awalnya ialah tokoh yang "benar", sampai kemudian sebuah ramalan menyampaikan bahwa ia akan menjadi raja berikutnya. Godaan ini membuatnya menjadi ambisius dan licik, didorong-dorong pula oleh sang istri Lady Macbeth - sampai membuatnya menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Sekalinya berkuasa, ketakutan akan ada yang mengambil tahta darinya menciptakan Macbeth menjadi tirani yang kejam, sampai terjebak pada fantasi paranoidnya sendiri. Jelas, Macbeth menyajikan sebuah perspektif kelam dari harga sebuah kekuasaan.

Namun, lima menit film ini berjalan - saya dibentuk sedikit kaget, alasannya rupanya menonton Macbeth menyerupai menonton pertunjukan drama teater. Harusnya sudah saya duga dari awal, alasannya saya juga juga tahu kalau Macbeth ialah salah satu karya dari William Shakespeare. Tapi saya tetap saja ngira bakal nonton Macbeth versi populer, yang pastinya digarap lebih ringan. Tapi siapa yang menyangka bahwa Macbeth akan menjadi sebuah pertunjukan dengan obrolan yang begitu puitis, lebay dan penuh metafora-metafora yang bikin kepala pusing? Gladly I'm watching it with Bahasa Indonesia subtitle, because if I'm watching it on English - saya nyerah. Pertunjukan kolam nonton stage-drama terperinci eksklusif bikin mood nonton sedikit menurun, alasannya saya bukan fans pertunjukan bercita rasa seni tinggi macam begitu, dan memang selama 30 menit saya dibentuk bosan dengan monolog-monolog panjang yang bikin bengong. Tapi kemudian sehabis 30 menit, sehabis jadinya saya terbiasa, saya menemukan diri saya bisa menikmati Macbeth dengan baik.

Oke, terlepas dari dialognya yang kolam nonton pertunjukan puisi (sumpah, saya sendiri sulit untuk mencerna kalimat per kalimat), secara keseluruhan Justin Kurzel sebagai sang sutradara masih bisa menghasilkan visual dan tontonan yang indah. Macbeth sendiri ialah sebuah karya yang agak depresif, dan film Macbeth ini bisa mempertunjukkan nuansa kelamnya dengan baik. Pemandangan alam Skotlandia digambarkan dengan sangat gloomy dan dingin, didukung dengan scoring music yang sangat terasa nuansa Scottishnya. Warna merah-oranye lebih banyak didominasi yang dipakai ketika adegan perang juga menyerupai menjadi perlambang darah dan api yang harus dibayar untuk harga sebuah perang dan kekuasaan. Salah satu adegan klimaksnya, ketika Macbeth mulai "gila" dan meracau tidak terperinci di program makan malam kerajaan, juga menjadi adegan favorit saya yang menciptakan saya berhasil melek dari kebosanan selama periode awal film. Adegan ini sendiri juga terasa horror dan mencekam (*pantes saya jadi melek*).

Marion Cotillard bermain dengan sangat baik sebagai Lady Macbeth yang licik di awal (dan lebih kejam daripada sang suami malahan - semacam pembuktian di balik pria yang sukses, ada perempuan ahli - or in this case a crazy bitch lady). Tapi tentu saja yang paling memukau saya adalah Michael Fassbender sebagai Macbeth. Yeaaah... you probably know that I'm big fans of him (karena doi ga cuma hot, tapi aktingnya baiklah pulak), tapi harus saya akui bahwa sejauh ini performanya sebagai Macbeth - selain sebagai maniak seks Brandon di Shame, atau sebagai frontman indie band bertopeng di Frank - ialah salah satu performa terbaik yang pernah ia berikan. Ia kelihatan berpengaruh dan gagah di awal, namun tampak paranoid, arogan, dan menyedihkan di penggalan akhir. And his acting is flawless. (Kayaknya saya terlalu menyanjung ya, ah, this is just my fangirling mode - tapi semua kritikus juga bilang daya tarik Macbeth memang kualitas akting Fassy). Well, saya tentu saja semakin ingin tau dengan proyek Michael Fassbender selanjutnya di pembiasaan game Assasin's Creed yang juga akan disutradrai oleh Justin Kurzel. 

Overview:
Kalau kau menyukai menonton pertunjukan teater, maka menyaksikan Macbeth mungkin akan membuatmu terpukau, tapi buat sebagian besar orang Macbeth akan sulit dimengerti. Yeah, probably too pretentious to understand, tapi Macbeth tetaplah sebuah film yang menawan. Sebuah terjemahan dan pembiasaan karya klasik yang ditampilkan dengan cukup setia pada karya aslinya. Marion Cotillard bermain baik sebagai Lady Macbeth, namun tentu saja kekuatan utamanya ada pada Michael Fassbender yang memperlihatkan salah satu akting terbaiknya sebagai Macbeth. Hail Macbeth! Hail Fassbender! 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Macbeth (2015) (4/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel