Tangerine (2015)



Bitch, you know I don't do downers, bitch. You know I'm an upper ho.

RottenTomatoes: 96% | IMDb: 7,1/10 | Metacritic: 85/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R
Genre: Drama, Comedy

Directed by Sean S. Baker ; Produced by Sean S. Baker, Karrie Cox, Marcus Cox, Darren Dean, Shih-Ching Tsou ; Written by Sean S. Baker, Chris Bergoch ; Starring Kitana Kiki Rodriguez, Mya Taylor, Karren Karagulian, Mickey O'Hagan, James Ransone ; Cinematography Sean S. Baker, Radium Cheung ; Edited by Sean S. Baker ; Production companies Duplass Brothers Productions, Through Films ; Distributed by Magnolia Pictures ; Release dates January 23, 2015 (Sundance), July 10, 2015 (United States) ; Running time 88 minutes ; Country United States ; Language English, Spanish, Armenian ; Budget $100,000

Story / Cerita / Sinopsis:
Sin-Dee (Kitana Kiki Rodriguez), seorang PSK transgender gres saja keluar dari penjara sehabis ditahan selama 28 hari. Ia bertemu dengan sahabatnya Alexandra (Mya Taylor) yang tidak sengaja menggosipkan bahwa pacar Sin-Dee menyelingkuhinya. Sin-Dee kemudian berjalan keliling kota LA untuk mencari sang pacar dan selingkuhannya. 

Review / Resensi:
Oh well, menyimak dunia netizen saat ini yang sedang ramai memperbincangkan warta pro kontra LGBT (sumpah ini warta rame banget, saya langsung sih support kaum LGBT untuk mendapatkan diri mereka sendiri kalau itu menciptakan mereka bahagia, selama nggak mengganggu orang lain aja), maka sepertinya Tangerine bukanlah film yang sempurna dipakai untuk menyuarakan pro-LGBT. Well, film indie Tangerine yang disutradarai Sean S. Baker ini memang menceritakan perihal dua PSK transgender. Akan tetapi, alih-alih menceritakan transgender sebagai korban keadaan yang melas dan di-bully masyarakat (semacam The Danish Girl), Tangerine ialah kebalikannya. Dua transgender di sini, terutama Sin-Dee, kelakuannya benar-benar abnormal dan tidak menarik simpati - namun justru di situlah letak kejujurannya. Ini bukanlah film yang menempatkan transgender sebagai korban, namun sebagai insan yang realistis. I think that's the major point. 

Bersetting waktu malam Natal, Tangerine hanyalah film yang menceritakan satu hari kehidupan mereka yang terpinggirkan. Dalam kasus ini, mereka ialah Sin-Dee (Kitana Kiki Rodriguez) dan sahabatnya Alexandra (Mya Taylor). Mereka ialah transgender, dan warta transgender sendiri bukan fokus utama yang menjadi critical point film, walaupun saya rasa alasannya ialah mereka transgender-lah film ini punya nilai yang secara marketing lebih baik. Hanya sekedar menimbulkan transgender sebagai atribut, film ini sendiri menceritakan suatu hari yang kacau balau bagi Sin-Dee yang mengetahui pacarnya sekaligus mucikarinya berselingkuh darinya. Ngamuk, Sin-Dee muter-muter kota L.A. untuk mencari pacarnya dan selingkuhannya. Di lain sisi, ada Alexandra yang akan tampil menyanyi di sebuah klub, dan berharap acaranya sukses. 

Karakter Sin-Dee dan Alexandra lah yang menciptakan film ini sangat menarik sekaligus lucu, they're transgender prostitute, terang bukan dari kalangan yang memuja kesopanan (atau kepalsuan), sehingga percakapan keduanya mengalir begitu lancar, kasar, kadang kampungan, namun juga jujur dan kocak. Bagi saya, fokus Tangerine ada pada persahabatan antara Sin-Dee dan Alexandra, yang terlepas dari bagaimana beratnya dunia mereka, masih sanggup saling menjaga satu sama lain. And that's so sweet. Akting kedua aktor, yang juga seorang transgender di kehidupan faktual dan bahkan kabarnya pernah menjadi PSK beneran, juga tidak sanggup diremehkan.

Tangerine juga mengajak kita mengenali kehidupan mereka - yang boleh dikatakan - cenderung dikucilkan masyarakat. Walaupun mungkin sedikit susah dipercaya, kita melihat transaksi - transaksi bisnis prostitusi jalanan, atau bagaimana PSK transgender ini melayani "klien"-nya. Disampaikan dengan jujur - atau kelewat jujur - saya takut Tangerine ialah film yang akan bikin pencetus anti LGBT semakin mengelus dada. Tokoh pelengkap lain yang menarik ialah Razmik (Karren Karagulian), supir taksi yang sudah nikah dan punya anak istri, tapi suka memanfaatkan jasa Alexandra, dan naksir berat sama Sin-Dee. Tokoh Razmik mewakili mereka yang mempunyai dua dunia, dunia pertama ialah dunia indah dengan anak dan istri, serta dunia "gelap" dengan acara seksual yang sebagian kalangan dibilang menyimpang. Anyway, orang menyerupai Razmik ini banyak lho. Saya pernah baca wawancara PSK bencong di Indonesia yang bilang bahwa kliennya hampir semuanya pria beristri. (Ini yang saya nggak paham, are they gay or not? or should we stop to categorize people based on their sexual orientation?). 

Dengan saturasi warna yang cenderung bold pada warna - warna kuning dan tangerine, sesuai judul film ini sendiri, Tangerine mungkin tidak terlalu menciptakan nyaman untuk ditonton - namun tone kuning ini justru menciptakan film ini begitu khas dan terasa sangat "California". Gimmick lain yang menciptakan Tangerine menarik juga ialah fakta bahwa Tangerine hanya disyuting melalui kamera IPhone 5s akhir budget film yang sangat terbatas. Ini ialah bukti lain bahwa untuk menciptakan film yang hebat, kau tidak perlu alat-alat yang canggih. Memang, kamera handphone menciptakan pengambilan gambar terasa bergoyang, namun justru saya merasa kesan realistisnya jauh lebih hidup.

Overview:
Perlu digarisbawahi, Tangerine bukanlah film drama transgender yang mengundang air mata - dan terang tidak akan jadi representasi film yang akan menarik simpati mereka yang anti LGBT. Secara umum Tangerine hanyalah sebuah potret sosial kehidupan masyarakat mereka yang terpinggirkan yang disampaikan dengan jujur dan terkadang kocak. Karakterisasi tokoh-tokohnya, terutama Sin-Dee dan Alexandra dan persahabatan di antara kedua, sangat menarik dan menjadi daya tarik utama film ini sendiri. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tangerine (2015)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel