The Revenant (2015)


"As long as you can still grab a breath, you fight. You breathe... keep breathing,"

RottenTomatoes: 82% | IMDb: 8,0/10 | Metascore: 76/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R
Genre: Drama, Action, Adventure

Directed by Alejandro G. Iñárritu ; Produced by Arnon Milchan, Steve Golin, Alejandro G. Iñárritu, Mary Parent, Keith Redmon, James W. Skotchdopole ; Screenplay by Mark L. Smith, Alejandro G. Iñárritu ; Based on The Revenant by Michael Punke ; Starring Leonardo DiCaprio, Tom Hardy, Domhnall Gleeson, Will Poulter ; Music by Ryuichi Sakamoto, Alva Noto ; Cinematography Emmanuel Lubezki ; Edited by Stephen Mirrione ; Production companies New Regency Pictures, Anonymous Content, M Productions, Appian Way, Regency Enterprises, RatPac Entertainment ; Distributed by 20th Century Fox ; Release dates December 16, 2015 December 25, 2015 (United States) ; Running time 156 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $135 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sebuah survival story yang terinspirasi dari kisah nyata, The Revenant bercerita wacana usaha Hugh Glass (Leonardo Di Caprio) bertahan hidup sesudah sekarat akhir diserang beruang dan ditinggalkan hingga hampir mati oleh rekan seperjalanannya. 

Review / Resensi :
So, you think your life is hard? Coba tonton The Revenant untuk tahu arti sesungguhnya dari bertahan hidup. Mother nature is your bestfriend, but also could be your enemy. Dalam The Revenant, kasus nature is enemy ini berwujud seekor grizzly bear yang menyerangmu untuk jadi santapan anak-anaknya hingga sekarat terluka parah. Hugh Glass (Leonardo Di Caprio) yakni seorang pemburu yang menjadi anggota ekspedisi di tahun 1800-an di Amerika di bawah pimpinan Kapten Andrew Henry (Domhnall Gleeson). Setelah Glass terluka parah akhir "diperkosa" beruang dan kecil kemungkinan untuk bisa hidup, sang kapten meminta John Fitzgerald (Tom Hardy), Jim Bridger (Will Poulter) dan anak Glass yang separuh Indian, Hawk (Isaiah Tootoosis) untuk menemani Glass hingga tamat hidup menjemput sementara anggota ekspedisi yang lain kembali pulang. Sialnya, si Fitzgerald ini malah membunuh sang anak, Hawk, dan kemudian meninggalkan Glass untuk mati sendirian di tengah hutan. Dipenuhi dendam, Glass bertahan hidup dan menyusul mengejar Fitzgerald.

The Revenant tidak hanya terkenal alasannya yakni dinominasikan di Best Picture Academy Awards tahun ini (dan hingga goresan pena ini ditulis telah memenangkan BAFTA dan Golden Globe di katagori yang sama), namun juga alasannya yakni ada nama Leonardo Di Caprio sebagai sang pemain film utama yang - sesudah meme-meme mem-bully Leo yang kagak pernah menang Oscar - punya chance besar untuk balasannya memeluk piala Oscar pertamanya. Tidak hanya itu, nama Emmanuel Lubezki sebagai sinematografer yang juga berhubungan dengan sutradara Alejandro G. Innaritu lewat film Birdman (2015) tahun kemudian juga kembali diprediksi akan memenangkan Best Cinematography untuk ketiga kalinya secara berturut - turut (setelah Gravity (2014) dan Birdman (2015)). Well, untuk Best Actor dan Best Cinematography mungkin saya baiklah - alasannya yakni akting Leo luar biasa dan Lubezki begitu bisa membuai mata saya lewat lansekap pemandangan pegunungan dan hutan Amerika yang gloomy dan indah. Namun untuk menyampaikan bahwa The Revenant akan menang Best Picture - saya kok tidak terlalu senang.

Sebelumnya, perlu saya puji dulu bahwa secara "penampakan", The Revenant menyajikan suatu survival story yang luar biasa . Dalam durasi dua jam lebih, kau akan dibentuk sama putus asanya dengan melihat Hugh Glass yang merangkak berjalan alasannya yakni kakinya yang patah - udah patah, terluka parah, masih ditambah dikejar-kejar Indian. Mungkin bila saya yang ditinggalkan di tengah hutan, film ini akan selesai dalam waktu 20 menit, tapi film ini mengenai Hugh Glass yang logikanya dengan badan terluka sedemikian parah tidak bisa bertahan hidup. But this movie based on true story (ini semacam 127 Hours versi ekspresi dominan salju), dan Innaritu berhasil merekam usaha faktual mempertahankan hidup yang luar biasa berat itu secara luar biasa pula. 

Ada sentuhan sureal pula yang menciptakan The Revenant sedikit berseni. Tentu film ini tidak akan sedemikian memperlihatkan impresi besar lengan berkuasa bila tidak ada Lubezki yang bertindak sebagai sinematografer. Konon hanya memakai cahaya natural, lansekap pegunungan bersalju dan hutan yang cuek ditangkap dengan bagus dan puitis. Gerakan kamera yang begitu dinamis juga mengikuti pergerakan sang tokoh dijalankan dengan rapi dan baik - didukung dengan music scoring yang menawan dari Ryuichi Sakamoto. Dan bila kau tahu proses produksi film ini dimana harus benar-benar bertahan hidup di alam salju yang ganas, maka tidak salah bila pengabdian produksi The Revenant ini totally unbelievable. 

Dari divisi akting, saya tidak ragu untuk mempersembahkan piala Oscar bagi performa Leo di The Revenant. Please, somebody give him that damn trophy! Setelah nonton beliau makan hati bison dan ikan mentah, plus berguru ngomong bahasa Indian, saya merasa bahwa Leonardo Di Caprio layak untuk balasannya menjadi Best Actor di ajang Academy Awards tahun ini. Setiap penderitaan, setiap rasa sakit, bisa disampaikan sang pemain film dengan begitu meyakinkan - yang juga berhasil direkam Innaritu dengan baik. Selain itu, saya rasa yang sama spesialnya juga Tom Hardy yang TOTALLY EVIL sebagai Fitzgerald. Oh iya, beliau jahat banget di sini. *Tapi tolong-menolong sih, kalo mengikuti logika naluri bertahan hidup, apa yang dilakukan Fitzgerald di sini hanyalah bersikap praktis. Siapa yang ngira si Glass ga mati - mati?!

But then again, ibarat apa yang telah saya sampaikan sebelumnya.. Saya tidak keberatan bila Leonardo Di Caprio meraih Best Actor, Lubezki meraih Best Cinematography atau bahkan Innaritu sebagai Best Director. Namun The Revenant tidak akan jadi favorit saya untuk meraih Best Picture. Sama ibarat Birdman (2015) yang mungkin mencetak rekor dari segi sinematografi dan aspek film lainnya, tapi tidak memperlihatkan nilai emosional personal yang saya butuhkan, demikian juga dengan The Revenant. This movie is great, I know it - objectively. Tapi kalo dipikir-pikir kisahnya sederhana: wacana balas dendam. Dan apa tolong-menolong yang ingin disampaikan The Revenant? Bahwa balas dendam yakni motivasi yang membuatmu bertahan hidup? Atau balas dendam sesungguhnya menyenangkan? atau segala perang dan bunuh-bunuhan di The Revenant menunjukkan bahwa "We are all savages?". Medan "tempur" The Revenant demikian sulit dan usaha Glass untuk selamat yakni agresi faktual yang istimewa, namun tolong-menolong dengan durasi 2 setengah jam, The Revenant bukanlah film yang akan saya tonton 2 kali. Sedikit membosankan. Atau memang film ini bukan selera saya aja.

(Spoiler) malah saya rasa emosionalnya bakalan lebih dapet kalau pas endingnya si Glass habis "ngebunuh" si Fitzgerald, ternyata doi bangkit dan itu semua hanya mimpi. Badzinga! Ternyata si Glass masih di tandu, sendirian habis ditinggal Fitz dan Bridger. Penonton keluar bioskop marah-marah. This gonna be the worst ending ever!

Overview :
Sebuah dramatic survival story yang luar biasa. Perjuangan faktual Hugh Glass dalam bertahan hidup di keganasan alam dan manusia, berhasil disajikan oleh Alejandro G. Innaritu melalui The Revenant dengan sangat menawan - dengan didukung pula oleh Emmanuel Lubezki yang brilian dalam merangkai gambar-gambar yang puitis, serta scoring music yang indah dari Ryuichi Sakamato. Leonardo Di Caprio sepertinya (akhirnya) akan meraih Oscar pertamanya. Namun apakah The Revenant favorit saya? Tidak juga. Durasinya terlampau panjang membuatnya menjadi agak membosankan (oh you still alive - I get it), dan temanya sendiri terbilang sederhana.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "The Revenant (2015)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel