The House Of The Devil (2009) (4,5/5)


"This one night changes everything for me," 

RottenTomatoes: 86% | IMDb: 6,4/10 | Metascore: 73/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R
Genre: Horror

Directed by Ti West ; Produced by Josh Braun, Derek Curl, Roger Kass, Peter Phok ; Written by Ti West ; Starring Jocelin Donahue, Tom Noonan, Mary Woronov, Greta Gerwig, Dee Wallace ; Music by Jeff Grace ; Cinematography Eliot Rockett ; Edited by Ti West ; Production company Constructovision Ring, TheJig Entertainment, Glass Eye Pix ; Distributed by MPI Media Group (theatrical), Dark Sky Films (DVD and VHS), Gorgon Video (VHS) ; Release dates 25 April 2009 (Tribeca Film Festival),  October 30, 2009 ; Running time 95 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $900,000

Story / Cerita / Sinopsis :
Karena harus membayar biaya sewa apartemen, Samantha (Jocelin Donahue) terpaksa mendapatkan pekerjaan sebagai babysitter yang ditawarkan keluarga Ulman, tanpa mengetahui bahwa keluarga tersebut menyimpan diam-diam misterius. 

Review / Resensi :
Bicara soal horror modern, maka The Conjuring dan Insidious yaitu salah satu pola produk generasi gres film horror yang cukup menciptakan kita bisa bernostalgia dengan film-film horror klasik dari periode 70-80an (walau bergotong-royong nggak tepat juga saya bilang "nostalgia", sebab saya toh gres lahir final 80-an). Namun salah satu film modern horror yang benar-benar berhasil membawakan aura horror klasik 80-an dengan sangat persis dan tepat yaitu The House of The Devil yang disutradarai, ditulis dan diedit oleh Ti West ini. Mungkin tidak terlalu dikenal oleh publik mainstream, tapi bagi penggemar film horror sejati, The House of The Devil benar-benar bisa menciptakan kita mencicipi nostalgia bagus dengan horror klasik, terutama dari subgenre satanic panic, slasher dan haunted house. 

The House of The Devil boleh dibilang semacam homage atau tribute bagi horror klasik. Penonton awam niscaya nggak nyangka bahwa film ini diproduksi final tahun 2000-an, sebab aura dan atmosfernya yang sangat retro. Nggak hanya dari segi cerita, tapi juga dari segi teknis yang sangat bercirikan kala 70 & 80-an. Mulai dari penggunaan kamera film 16 mm yang menunjukkan kesan jadul, fashion dan hairstylist para pemain, setting waktu film yang memang tahun 80-an, penempatan judul dan credit di potongan depan dan final serta pemilihan font-nya, teknis pengambilan gambarnya (zooming camera instead of using dolly), properti-nya (walkman dan telepon jadul), hingga soundtrack music (The Fixx - One Thing Lead To Another dan The Greg Kihn Band - The Breakup Song). Yang paling menarik tentu saja fakta dimana distribusi promosi awalnya yang memakai kaset VHS. Kebayang nggak sih kala digital jaman kini siapa yang masih punya VHS player? 

picture via moviefone.com
Menonton The House of The Devil mau nggak mau mengingatkan saya akan Rosemary's Baby (1968) milik Roman Polanski, salah satu pola pionir film horror klasik yang wajib ditonton. Nggak cuma mengingatkan dari segi dongeng yang memang nyerempet ke ranah satanic cult, tapi juga bagaimana Ti West membangun film dengan perlahan, atau istilahnya slow-burning horror. Rosemary's Baby milik Roman Polanski membangun dongeng dengan sangat pelan-pelan dalam satu jam pertama, bagaikan pemanasan yang bolehjadi agak membosankan. Namun semoga dikata "membosankan", sutradara horror yang baik bisa membangun atmosfer awal ini dengan situasi yang bikin penonton merasa nggak nyaman. That's exactly what Ti West did in The House of The Devil. Lewat telepon yang abnormal dengan Mr. Ulman, rumah yang ada di tempat terpencil dan ngelewatin kuburan dan hutan. gerhana bulan, dan pertemuan dengan Mr. Ulman yang tidak mengenakkan - banyak tragedi yang menciptakan penonton akan berpikir sama cemas dan curiganya dengan sang protagonis. Mengutip dari rogeredbert.com: the film may provide an introduction for some audience members to the Hitchcockian definition of suspense: It's the anticipation, not the happening, that's the fun. Dan saat potongan yang dinantikan muncul, The House of The Devil juga sukses dalam menunjukkan adegan titik puncak yang cukup gore walaupun tidak hingga ke taraf disturbing. Adegan puncaknya ini bagaikan puncak dari mimpi horror yang sangat menakutkan.

*Emh... formulanya mengingatkan saya juga dengan Audition-nya Takashi Miike (2000), potongan awal sedikit datar walaupun cukup bikin ingin tau dan bikin merasa nggak nyaman, tapi kemudian 15 menit potongan balasannya bagaikan your worst nighmare ever! 

Overview:
The House of The Devil tidak bisa dikatakan sebagai film yang inovatif di genre-nya, namun The House of The Devil merupakan sebuah karya penghormatan yang baik bagi horror klasik kala 70-80an. Poin plus ada bagaimana Ti West mampu dengan sangat tepat mengantarkan segala atmosfer 80-an, mulai dari fashion dan properti film, hingga segala aspek teknis visual. Sebagai film horror sendiri, The House of The Devil punya cita rasa Polanski - sebuah slow building horror yang bikin bulu kuduk merinding, serta potongan ending yang walaupun tidak terlalu istimewa - namun cukup angker (dan tentunya menyenangkan!). The House of The Devil adalah sebuah nostalgia yang indah!

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "The House Of The Devil (2009) (4,5/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel