Blade Runner 2049 (2017) (4,5/5)


The World is built in a wall that separates kind. Tell either side there's no wall... You bought a war.
RottenTomatoes: 90% | IMDb: 8.8/10 | Metascore: 82/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R | Genre: Action, Adventure, Science-Fiction, Drama

Directed by Denis Villeneuve ; Produced by Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin ; Screenplay by Hampton Fancher, Michael Green ; Story by Hampton Fancher ; Based on Characters from Do Androids Dream of Electric Sheep? by Philip K. Dick ; Starring Ryan Gosling, Harrison Ford, Ana de Armas, Sylvia Hoeks, Robin Wright, Mackenzie Davis, Carla Juri, Lennie James, Dave Bautista, Jared Leto ; Music by Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch (Blade Runner themes composed by Vangelis) ; Cinematography Roger Deakins ; Edited by Joe Walker ; Production company Alcon Entertainment, Columbia Pictures, Scott Free Productions, Torridon Films, 16:14 Entertainment, Thunderbird Entertainment ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date October 6, 2017 (United States) ; Running time 163 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $150–185 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Bersetting 30 tahun dari film originalnya, Blade Runner 2049 bercerita wacana biro K (Ryan Gosling), seorang blade runner, yang harus menilik sebuah belakang layar yang dianggap membahayakan. Misteri ini kemudian mengantarkannya bertemu dengan biro Deckard (Harrison Ford) yang telah menghilang selama 30 tahun. 

Review / Resensi :
Kalau boleh ngaku, sejujurnya waktu pertama kali saya nonton Blade Runner saya ketiduran hingga 2 kali nonton. Akhirnya pas nonton ketiga gres bisa nonton hingga habis, dan itupun saya merasa filmnya sangaaaaaat membosankan. Mungkin alasannya yaitu awalnya saya pikir Blade Runner adalah sebuah film science-fiction yang full action atau minimal penuh petualangan yang seru, namun rupanya Blade Runner adalah dystopian neo-noir dengan pace yang terbilang sangat lambat (dan cukup banyak suasana damai yang bikin ngantuk). Tapi, saya cukup paham kenapa Blade Runner yang awalnya sama sekali nggak laris di pasaran lama-lama bisa memperoleh status cult. Film ini sangat visioner pada jamannya. Visualnya mengagumkan, scoring music-nya iconic, dan dengan dongeng yang multilayered dan filosofis. Saya pun harus nonton lagi - dalam percobaan keempat kali sembari persiapan untuk nonton Blade Runner 2049 - hingga balasannya saya gres benar-benar bisa memahami dan menyukai film ini. 

Saya mendaulat diri saya sebagai fans Dennis Villeneuve sesudah Sicario (2015) dan apalagi Arrival (2016). Makanya saya pribadi excited banget waktu tahu bahwa ia akan bertindak sebagai sutradara dalam sekuel Blade Runner, apalagi proyek ini masih di bawah "bimbingan" the sci-fi guru Ridley Scott yang menggarap film pertamanya. Belum lagi nama-nama yang melengkapinya: aktor Ryan Gosling, Harrison Ford, Robin Wright, Jared Leto, sinematografer Roger Deakins, dan sebelumnya: music composer Johann Johannson (sebelum balasannya diganti Hans Zimmer). Hype Blade Runner 2049 ini sudah saya rasakan dari awal publikasinya, hingga dengan nawaitu niat pol saya berangkat ke bioskop di penayangan perdananya (jam pertama pula!). Dengan semangat menggebu-gebu pula saya pulang pribadi bikin review-nya.

Ada beban berat bagi Villeneuve untuk menggarap sebuah sekuel film yang telah dianggap cult. Blade Runner 2049 harus bisa mengatakan sesuatu yang inovatif dari pendahulunya, namun dilarang kehilangan roh film originalnya. Untunglah, pada balasannya visi Villeneuve bisa mengantarkan Blade Runner 2049 sebagai sebuah tribute atau penghormatan yang layak bagi film originalnya. Hampir semua elemennya mengingatkan saya pada versi aslinya yang digarap Ridley Scott, tentu dalam versi modern yang lebih megah. Visualnya, scoring music-nya, pace filmnya, storyline-nya (dan emang salah satu screenwriter-nya yaitu Hampton Fancher yang dahulu juga menggarap Blade Runner), muatan filosofis-nya (dengan bible-reference-nya), dialognya, bahkan hingga fantasi teknologi-nya.... menonton 2049 terasa bagaikan sebuah nostalgia yang menyenangkan bagi para hard-core fans-nya.

Namun perlu saya beritahukan dahulu, bahwa terlepas dari nuansa futuristiknya yang tampak menjanjikan sebagai sebuah blockbuster movie, saya merasa 2049 tetaplah Blade Runner. Saya suudzon ABG-ABG fans berat Ryan Gosling yang menonton film ini kayaknya nggak bakal suka dengan filmnya. Termasuk kamu-kamu hei penggemar Roland Emerich dan Michael Bay! 2049 adalah sebuah film neo-noir bergenre science-fiction. Filmnya bergerak dengan lambat, durasinya bahkan 2 jam 45 menit, kisahnya suram nan depresif, dialognya berat... clearly Blade Runner 2049 is segmented. Orang yang tiba ke gedung bioskop sambil berharap akan menonton dunia science-fiction ala Star Wars sepertinya harus menelan kekecewaan ketika Blade Runner 2049 lebih fokus pada adegan detektif-detektifan, suasana yang damai (please itu kantornya Wallace masa ga punya pegawai!), serta drama filosofis soal what-make-a-human-human? Apalagi kalau kau belum nonton versi awalnya, saya sangsi apakah kau bisa benar-benar mengerti maksud film ini. Syukurlah saya sudah berguru dari kesalaham, sehingga saya masuk ke gedung bioskop dengan persiapan mental yang menciptakan saya jadi bisa menikmati filmnya dengan fokus tingkat tinggi.

Kekuatan utama Blade Runner 2049 terang ada pada visual futuristiknya. Bersettingkan sebuah dystopian universe tahun 2049 (30 tahun sesudah setting dongeng dari film awalnya), bumi masa depan yang ada di film ini bukanlah dunia yang menyenangkan. Pada Blade Runner, desain set dan lokasinya sepertinya terinspirasi dari kota Tokyo dan New York yang ramai di malam hari, namun dalam versi imajinatif yang kelam, ramai, gemerlap dengan lampu neon-punk dan papan iklan komersial, bising, multikultur, sekaligus terasa abnormal dan tidak mengatakan kehangatan. 2049 mampu membawakan universe yang sama, mengubah Los Angeles menjadi dunia cyber-punk bersalju dalam gambar-gambar luar biasa indah yang menciptakan saya ngowoh sepanjang nonton. Selain itu 2049 mengantarkan kita ke luar kota yang tidak dijamah di film orinya, San Diego dan Las Vegas digambarkan menjadi sebuah kota yang hancur, awut-awutan dan ditinggalkan. Roger Deakins selaku sinematografer (please give that damn trophy for him next year!) - bersama jajaran pendukung special effect dan production design-nya, membawa lansekap dunia masa depan yang realis ke layar bioskop - saya tidak ada henti-hentinya mengagumi setiap detail pemandangan yang ditawarkan di depan. Perhatikan scene ketika Joi dan K berciuman di atas gedung, atau ketika K dan Deckard berantem di sebuah ruangan mini-concert, atau ketika scene ketika Joi berusaha "sync" dengan badan Mariette ketika hendak bercinta dengan K, atau ruangan kantor Wallace yang tampil modern, sleek dan "inhuman", atau ketika K menjelajah gurun gersang dengan patung-patung perempuan.... It's just breath-taking.  Dari aspek teknis, Blade Runner 2049 sepertinya akan menjadi the next Mad Max : Fury Road (2016) di Oscar tahun depan (dan mungkin akan bersaing ketat dengan Dunkirk (2016)). Jangan lupakan juga the master Hans Zimmer yang membungkus 2049 dengan scoring music-nya yang asyik, tanpa menanggalkan ciri khas yang sebelumnya pernah dilakukan Vangelis di tahun 1982. Walaupun, saya sendiri sih lebih suka komposer Johann Johannson, yang belakangan harus meninggalkan proyek ini alasannya yaitu berdasarkan Villeneuve, Hans Zimmer lebih cocok.

Dari segi cerita, Blade Runner 2049 juga masih mengatakan kedalaman dongeng serupa ibarat yang pernah dilakukan film originalnya (saya akan membahas ini lebih jauh pada artikel khusus mengenai klarifikasi film ini). Pace-nya terbilang lambat dengan jalinan dongeng yang kurang "action", dialognya juga sedikit berat dan tidak eksplisit, saya tidak menyalahkan kalau ada orang yang ketiduran pas nonton ini. Namun untungnya 2049 masih bisa menggiring saya mengikuti misterinya dengan baik, walau saya tidak mengecewakan butuh fokus tingkat tinggi untuk menangkap detailnya. 2049 terang lebih baik dalam mengungkap misterinya dibandingkan Blade Runner, alasannya yaitu saya selalu agak kesulitan "memahami" tempo dan alur dongeng film-film klasik. Dan jangan lupa, Villeneuve selalu punya sebuah twist di film-film garapannya, tak terkecuali 2049 yang mengatakan sedikit kejutan menarik di bab balasannya (yang by the way, saya telat banget nyadarnya).

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, Blade Runner 2049 sangat segmented. Saya tidak menjamin penonton awam yang masuk ke bioskop akan keluar bioskop dengan senyuman lebar di mukanya. Namun ya setidaknya para wanita bisa fangirling melihat Ryan Gosling tampak ganteng dalam mantel demam isu dinginnya, dengan muka minim mulut yang hambar (tapi menggairahkan!). Ryan Gosling playin' so good as K in here, aktingnya sama cool-nya dengan kiprahnya di Drive (2009). Sedangkan para lelaki setidaknya juga bisa terhibur dengan kehadiran cewek-cewek cakep. Kamu bisa menentukan si virtual Joi (Ana de Armas) yang sedikit-banyak adonan antara loveable character ala Samantha di film Her (2013) dengan kepolosan Ava di Ex-Machina (2015), atau si hambar jahat Luv (Sylvia Hoeks), atau si pixie-girl prostitute (Mackenzie Davis) yang juga mencuri perhatian. And the rest of supporting casts are also amazing: Dave Bautista, Tomas Lemarquis, Robin Wright, Jared Leto, hingga Barkhad Abdi.

*Anyway, jikalau film ini begitu sempurna.. kenapa saya tidak kasih skor 5/5? Tbh, saya selalu kasih skor 5 untuk film-film yang personally related atau punya emotional effect buat saya. Sayangnya, Blade Runner agak miss dari segi itu..

Overview:
One of the best movie in 2017. Sebuah sekuel yang tidak hanya masih setia dan respek dengan versi originalnya, namun membawanya satu level lebih tinggi. Blade Runner is a cult, dan saya yakin sekuelnya ini Blade Runner 2049 juga akan jadi cult-classic movie di masa depan. Kekuatan utama Blade Runner 2049 terang hadir melalui visualnya yang sangat menawan (moviegasm for sure), scoring music-nya yang cantik, production design, set, dan special effect-nya yang menakjubkan, serta kompleksitas ceritanya yang berat, filosofis dan layak dibahas selepas nonton filmnya. Alur yang lambat dan dongeng yang agak "berat" mungkin membuatnya sangat segmented, but once you understand what make this movie is great... it feels really worth it.

*Updated:
Akhirnya berhasil nulis panjang lebar soal Penjelasan Film Blade Runner 2049. Go check here. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Blade Runner 2049 (2017) (4,5/5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel